Cerpen | Kriing.. Kriing.. Masa Pandemi

"Kriing... Kriiing...," telepon genggam berdering klasik saat terik siang nan sepi. Pandemi Covid-19 sedang merajalela. Warung porak poranda tercabik-cabik cakaran duri korona.

"Maaf..dengan toko El Samudji?" sapa ramah suara perempuan dari ujung sinyal. Nun jauh entah di mana.

"Yep...tull..," sahut Samudji sekenanya. Merasa pembukaan percakapannya kurang elegan. Nomer telepon tak tercatat. Masih belum jelas siapa yang dihadapi.

"Bisa mohon waktunya sebentar Pak? Kami dari PT. ******** mau mensosialisasikan investasi...," langsung dia menyerbu tanpa menyebut nama diri. Hanya menyebut tempatnya bekerja.

Samudji mengikuti kemauannya. Selagi isi kepalanya belum runyam.

"Investasi apa?"

"Investasi emas Pak..," sahutnya seperti berbinar-binar.

Entah mengapa isi kepala Samudji tiba-tiba menggeliat.

"...Uwaaah....emas ya..?"

"Iya Pak...benar. Investasi emas. Bisa kami jelaskan?" ujarnya seperti mengejar.

"Waah..situasi seperti sekarang ini... ini benar-benar sangat menggembirakan. Bagai durian runtuh saja. Mimpi apa saya semalam," sahut Samudji bergairah setengah berseru.

"Benar...Pak..kondisi seperti sekarang ini sangat tepat untuk berinvestasi emas...," bersemangat terdengar tutur kalimat dari ujung sinyal.

"..Langsung saja Bu... Berapa emas yang akan saya peroleh? Saya benar-benar sudah keteteran. Dagangan sepi. Sudah sebulan ini tidak berani mampir ke tukang soto langganan saya," celoteh Samudji mencoba menguasai situasi.

"Maaf..Pak..kami menawarkan investasi. Bapak berinvestasi sejumlah dana kepada kami. Bentuknya nanti berupa emas. Bisa kami berkunjung ke tempat bapak?"

"Oh pastikan dulu berapa emas yang bisa saya dapatkan Bu..agar ibu juga tidak percuma ke tempat saya...," sergah Samudji bersemangat.

"Wah..bukan seperti itu Pak.. Teknisnya bukan seperti itu.." sahutnya berusaha sabar.

Mendengar kata 'teknis' semangat Samudji bertambah kencang. Dia kurang suka mendengar orang menggunakan bahasa susah. Langsung dipotong paparan sang telepon.

"Baiklah kalau begitu. Sekarang begini saja. Andaikan saya bersedia ikut. Berarti Ibu sudah mendapatkan emas. Bukankah Ibu menganggap saya adalah emas? Emas buat Ibu dan perusahaan Ibu? Trus kemudian Ibu tentu menjanjikan keuntungan dalam bentuk emas juga buat saya. Nah apakah saya kurang sopan kalau menanyakan emas saya sendiri?" ujar Samudji panjang lebar dengan nada beraturan dengan intonasi yang tenang. Berharap sang  Ibu cepat paham.

"Hmmm...ya..ya..begitu ya Pak...," sahut sang Ibu seperti mulai paham. Namun belum bisa langsung memberi jawaban.

"Coba.. Ibu tanyakan kembali pada boss Ibu di kantor. Boleh nanti Ibu telepon balik. Saya tunggu... Okay Bu? Terima kasih.. Selamat siang..," ujar cepat Samudji seperti menahan tawa. Dan teleponpun terputus.

Samudji tidak habis mengerti. Bagaimana jalan pikiran sebuah perusahaan investasi bisa mencari nasabah di kotanya.

Sementara pertumbuhan ekonomi kotanya empat bulan ini adalah minus 1,14%. Dan rate nasional justru 2,97%.

"Perusahaan yang aneh...," gumam Samudji sendiri di tengah heningnya suasana warung. Benaknya bertaruh telepon itu tidak akan berdering dengan nomer itu lagi.***

Komentar

Postingan Populer