Sosbud | Menyentuh Hati Batu Karang
Jalan Berliku Rumah Kos
Seperti biasanya, pagi hari itu Pak Sutan Liam berdiri melambaikan tangan di pinggir jalan. Lambaian yang sanggup menghentikan laju angkot. Di depan balai desa, beberapa puluh meter dari rumahnya yang berada di dalam gang.
"Oh.. Pak Sutan.. Selamat pagi..pak..seperti biasa ya pak?" salam sapa sang sopir sembari bertanya tujuan yang sudah diketahui. Dia berbasa-basi.
"Pagi.. Pak sopir..iya seperti biasa Pak.." sahut Pak Sutan langsung duduk di depan. Di samping Pak sopir.
Boleh dikata hampir sebagian besar sopir angkot jurusan itu sudah mengenal Pak Sutan. Sudah hampir enam bulan ini, Pak Sutan selalu saja menaiki angkot jurusan itu. Tempat yang dituju juga selalu itu. Berjarak lebih kurang tujuh kilometer.
Pak Sutan selalu setia menengok rumah kos sepuluh kamar yang baru berumur enam bulan. Harta satu-satunya hasil jerih payah bersama sang istri.
Rumah kos yang mereka handalkan untuk menyokong biaya sekolah dua putranya di dua kota besar, kota pendidikan di pulau Jawa.
Proses pembangunan rumah kos tersebut tidaklah sekali jadi. Bertahap. Sempat mangkrak beberapa bulan saat baru sampai memasang atap. Lantai masih tanah. "Agar aman kalau-kalau turun hujan," pikirnya saat itu.
Maklum Pak Sutan dan istrinya bahu membahu membiayai. Sebagian dari tabungan hasil sebagai pramuwisata dan sebagian dari hasil berjualan sang istri di pasar tradisional.
Saat mulai membangun pun Pak Sutan sudah berhenti sebagai pramuwisata. Usia sudah tidak memungkinkan. Dia cuma membantu sang istri di pasar.
Pernah ia mencoba mengais rejeki. Dengan kembali mengirim artikel ke harian nasional. Kegiatan yang sudah dia tinggalkan puluhan tahun akibat situasi politik. Sebuah artikel tentang penggalian purbakala-nya. Di pulau Timor puluhan tahun silam. Akan tetapi dia menerima penolakan halus yang sopan.
Tersurat penolakan dari redaksi harian nasional tersebut, bahwa setelah dicek, memang benar Pak Sutan era tahun 70-an pernah tercatat sebagai kolumnis.
Tetapi oleh karena tuntutan zaman, bidang yang ditulis Pak Sutan saat itu sangat kurang peminat. Sementara sebuah harian media cetak memerlukan artikel yang memiliki nilai jual. Tentu agar tetap bisa bertahan hidup.
Sebuah alasan yang masuk akal dan Pak Sutan memahaminya. Ucapan terima kasih dan harapan sehat selalu juga tersurat di dalamnya.
Akhirnya artikel tentang penggalian arkeolog-nya disimpan rapi kembali. Pak Sutan, salah satu dari empat pendekar penemu situs Buni itu meyakini suatu saat akan berguna.
***
Rumah kos tersebut berdiri di atas tanah seluas 300 m2. Bentuk tanah yang bagus. Hampir bujur sangkar. Pak Sutan membelinya puluhan tahun silam saat harganya masih murah. Terletak di tengah sawah. Rumah terdekat berdiri di sisi utara berjarak dua petak sawah. Sisi lainnya hanya terhampar sawah pertanian.
Dimensi rumah kos, dilihat dari atas berbentuk seperti huruf 'U.' Sembilan kamar di bawah dan ada satu kamar di lantai atas sisi Utara arah Barat Daya. Kamarnya pun cukup lega. 3,5 meter lawan 2,5 meter. Dengan beranda 1,5 meter.
Dari jalan besar, tepat di pertigaan, untuk mencapai rumah kos tersebut harus melewati gang kecil yang berliku. Hanya cukup untuk papasan sepeda motor. Ada kira-kira berjarak empat ratus meter.
Penduduk setempat seperti sudah meyakini. Bahwa akan ada pembukaan jalan baru. Pertigaan jalan besar di depan itu akan segera menjadi perempatan.
Penduduk setempat sudah memperkirakan jalur mana yang akan terpakai. Maka begitu memasuki gang beberapa meter, akan terlihat hamparan sawah memanjang. Dengan kiri kanannya berjejer bangunan. Rumah-rumah penduduk. Hamparan sawah yang memanjang itulah yang diperkiraan akan menjadi jalan baru.
Batu Karang Itu Bernama Peraturan
Angkot berhenti di pertigaan jalan besar. Tepat di depan gang menuju rumah kos. Segera setelah membayar ongkos angkot, Pak Sutan seperti melihat ada hal baru. Maklum setiap hari dia melintasi jalur itu.
Tatapan matanya mengarah pada sebuah papan putih. Terpancang tepat di tanah kosong sebelah gang.
Rasa keingintahuan melangkahkan kakinya menuju papan itu. Sinar matanya berbinar-binar. Di dalam hati ia membaca tulisan di papan putih itu.
Papan itu merupakan papan pengumuman. Terlihat jelas dari Departemen Pekerjaan Umum. Berserta logonya. Jelas tertera rencana jalan. Beserta dengan data-datanya. Panjang jalan, lama pengerjaan, siapa yang mengerjakan, hingga mulai dan berakhirnya proyek. Termasuk juga sumber biaya dan besarnya biaya yang dihabiskan.
Pikiran Pak Sutan mulai bergerak. Walau rumah kosnya berada jauh dari jalur yang diperkiraan warga, ia tetap was-was. Tidak ada yang menjamin bahwa jalan baru akan dibangun seperti perkiraan warga. Di papan pengumuman pun tidak disebutkan di mana posisi jalan baru itu.
"Besok aku harus menanyakan langsung ke departemen itu. Agar jelas," pikirnya saat itu.
Ada harapan mengelayut di relung hatinya. Sejak 1975 ia dipecat dari pegawai negeri saat golongannya sudah lVa. Nafkahnya saat itu sebagai peneliti dan dosen lenyap seketika. Ia tegar 33 bulan dibui tanpa pengadilan. Sekembalinya dari negeri Kangguru sehabis menerima award dari pemerintah Australia.
Beruntung ia dikaruniai bara api abadi yang setia bersemayam di dadanya. Hingga air mata tak pernah sekalipun terlihat menetes. Bicaranya selalu bersemangat. Wajahnya tegak menghadapi berbagai macam situasi.
***
Siang itu di ruang penerimaan tamu pada kantor Departemen Pekerjaan Umum, Pak Sutan sudah siap dengan berkas kepemilikan tanah rumah kosnya itu.
Saat mendapat kesempatan berkonsultasi, Pak Sutan menanyakan rencana jalan itu. Posisi jalan dan juga kepastian hukumnya.
Bahkan untuk posisi dan kepastian hukumnya, petugas memperlihatkan surat keputusan Menteri Perhubungan. Menunjukkan bahwa memang benar proyek jalan itu akan segera dikerjakan.
Ada dua kantor yang dikunjungi silih berganti. Satunya lagi adalah Kantor Agraria. Kantor Badan Pertanahan Negara.
Di kantor BPN itulah Pak Sutan mengalami kecamuk hati yang luar biasa. Walau sempat ternganga bahwa posisi jalan baru akan melibas rumah kosnya.
Sesaat setelah ia membuka sertipikat tanah rumah kosnya itu dan petugas BPN mencocokkan dengan rencana jalan dari master plan LC, Land Consolidation wilayah tersebut, Pak Sutan menggeleng-geleng. Perasaannya berkecamuk hebat.
Pikirannya melayang membayangkan bagaimana pontang-pantingnya sang istri mengumpulkan rupiah demi rupiah. Membiayai pembangunan rumah kos itu. Berangkat ke pasar di pagi buta hingga pulang petang hari. Sementara rumah kosnya akan lenyap.
Bagaimana dia akan mengatakannya pada istrinya itu.
Bagaimana dia akan menyokong biaya kuliah dua anaknya itu. Tantangan hidup yang bukan main-main.
Dalam peta besar BPN itu terlihat petak tanahnya tergerus jalan besar. Jalan besar dengan klasifikasi jalan negara dengan anggaran dari pusat. Jalan selebar 22 meter. Dari pertigaan jalan besar itu terlihat membelok sedikit ke arah Selatan. Kemudian lurus ke arah Barat melibas lebih dari setengah tanahnya.
Dia memperkiraan tujuh kamar kosnya akan lenyap. Dipakai jalan. Belum habis pikirannya berjibaku, ada peraturan yang membelalakkan matanya. Tanah dengan luas minimal 1,200m2 yang terkena jalan besar itu akan dipindah ke posisi lain. Di pindah ke lingkungan jalan dengan lebar 8 meter.
Peraturan inilah yang menambah pusing kepala Pak Sutan. Tanahnya cuma 300m2. Genteng rumah kosnya masih merah. Masih baru. Ada keganjilan yang ia rasakan. Menyadari bahwa setiap keganjilan yang dirasakan, ia harus berusaha menggenapi dengan segenap kemampuannya. Dengan segala keilmuan yang dimiliki. Dia merasakan akan memenangi pertarungan dan pertaruhan paling dahsyat dalam perjalanan hidupnya.
Ia benar-benar merasa sendiri dalam peperangan itu. Rupiahnya pas-pasan. Ia tidak akan sanggup kalau akan menyuap birokrasi. Kawan-kawannya? Dia tidak mempunyai kenalan pejabat. Orang besar. Ataupun politisi terkenal. Tidak. Tidak ada sama sekali.
Semenjak dibungkam rezim, tidak ada satupun kawan-kawannya berani mendekat. Hanya satu peneliti asing sejawatnya yang khusus terbang dari London, Inggris pernah menengoknya beberapa hari selepas dari bui. Itu pun sudah puluhan tahun silam. Selebihnya, kawan-kawannya adalah orang-orang biasa.
Batu Karang pun Punya Hati Maka Sentuhlah
Menyadari posisi yang serba minim itu dengan peperangan besar yang akan dihadapi, Pak Sutan akhirnya bergerak cepat. Sebelum musuh menyerang duluan, dia harus melumpuhkan hulu hati musuh.
Peraturan yang bagai batu karang itu harus dilumpuhkan. Harus ditaklukan agar dapat memenangi pertarungan. Agar posisi tanahnya tidak dipindah. Walaupun cuma 300m2.
Sepulang dari Kantor BPN itu Pak Sutan langsung memetakan kekuatan musuh. Musuh memiliki senjata pamungkas. Yakni peraturan itu. Armadanya sangar. Di belakang peraturan ada aparat polisi. Aparat hukumnya komplit. Polisi, kejaksaan, hakim dan tentu birokrasi yang jelimet.
Itu semua kalau dilawan, Pak Sutan menyadari dia pasti kalah. Dengan berbekal senjata pamungkas kepastian hukum bahwa posisi jalan baru sudah pasti di sana, Pak Sutan bergerak cepat. Sebelum ada pemberitahuan sosialisasi tentang pembukaan jalan baru tersebut, ia melakukan langkah-langkah:
1. Memberitahukan kepada seluruh penghuni kamar kos agar segera pindah. Karena rumah kos itu akan segera dibongkar dalam beberapa hari ke depan.
2. Melaporkan kepada Kepala Lingkungan akan melakukan pembongkaran sendiri. Atas inisiatif sendiri. Dengan maksud mendukung program pemerintah. Agar mendapat dukungan kalau ada penghuni kos yang tidak bersedia pindah.
3. Melapor kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan jajaran terkait. Termasuk kepala BPN, bahwa akan segera dilakukan pembongkaran atas inisiatif sendiri untuk mendukung program pemerintah.
4. Menghubungi Kantor PLN agar segera memindahkan kabel-kabel yang sekiranya mengganggu proses pembongkaran.
5. Menyewa alat berat agar proses pembongkaran tidak memakan waktu lama.
Lima langkah itulah senjata andalan Pak Sutan. Dia tidak mempunyai apa apa lagi. Dia sudah lepas. Ibarat rajawali dia sudah ikhlas terhadap apapun yang terjadi di muka bumi. Dia sudah melayang di angkasa raya. Plong!
Sang istri yang mendengar berita itu, tak sadarkan diri. Tekanan darahnya naik tinggi. Dilarikan ke rumah sakit terdekat. Segera mendapat perawatan. Beruntung tidak sampai terjadi apa-apa. Sang istri merasakan itulah pukulan terberat dalam hidupnya. Dia masih bisa tegar menghadapi. Karena dia menyaksikan Pak Sutan, suaminya sudah ikhlas. Senjata sudah dilepaskan. Biarlah Yang Kuasa memberikan hasilnya.
Penduduk sekitar rumah kos menyaksikan proses pembongkaran itu. Tidak sedikit yang menyayangkan keputusan Pak Sutan. Mereka mengetahui pihak pemerintah belum melakukan sosialisasi tentang pembukaan jalan baru tersebut.
Bahkan ada satu orang bapak kenalan di lingkungan itu, bernama Pak Rendje sampai mengingatkan Pak Sutan. Agar jangan bertindak gegabah sebelum ada hitam di atas putih. Hingga jauh hari setelah peristiwa itu Pak Rendje mendapat panggilan baru. Bapak Hitam di atas Putih.
Saudara dan kerabat Pak Sutan pun turut merespon. Agar jangan sembrono. Dan jawaban Pak Sutan, "Inilah pertaruhan terbesar dalam hidupku. Kalau aku kalah, tanahku akan dipindah ke belakang. Tapi kalau aku menang, posisi tanahku akan tetap di tempatnya. Tidak ke mana-mana."
Pembongkaran hari itu benar-benar dramatik. Seluruh jajaran pelaksana proyek LC, proyek penataan tanah perkotaan turut menyaksikan. Alat berat membabat habis bangunan muda itu. Bangunan yang baru berumur enam bulan.
Dalam hitungan jam, tujuh kamar kos lenyap. Rata tanah. Sisa tiga kamar kos. Dua di bawah dan satu di lantai atas.
Kepala proyek terlihat puas. Beberapa pimpinan lain terlihat berembug. Salah satu menghampiri Pak Sutan. Kepala pelaksana proyek LC. Dia berujar dengan suara bijak.
"Tadi kami sudah berembug. Atas nama pemerintah, saya mengucap terima kasih yang sebesar-besarnya atas inisiatif bapak melakukan pembongkaran ini. Sedari awal kami sudah memperkirakan bangunan bapaklah yang paling berat kami hadapi. Karena hampir semua bangunan ini terkena jalan. Tapi bapak malah melakukannya sendiri. Bahkan sebelum kami memberitahu. Ini membuat kami semua trenyuh. Maka dari itu, kami sepakat tanah bapak tetap di sini. Sebagai ganti ruginya akan kami ambil di belakang sisa tanah bapak."
Mendengar itu semua Pak Sutan masih terlihat tenang. Dia serta merta mengucap terima kasih. Menyalami seluruh jajaran pimpinan proyek. Hebatnya, Pak Sutan saat itu langsung menghibahkan sisa tiga kamar kos itu untuk dijadikan kantor proyek.
Beberapa hari kemudian sepulang dari Kantor BPN, Pak Sutan terlihat tersenyum lebar. Dia membawa berita bagus buat istrinya yang masih dirawat di rumah sakit. Tanah mereka akan menjadi 750m2. Itu setelah dihitung berdasarkan nilai bangunan yang terbongkar dan luas asal tanah.
Pak Sutan bersama isterinya terlihat tersenyum bahagia. Tanahnya sekarang berada di pinggir jalan besar. Sementara waktu mereka harus mengais rupiah lebih keras lagi agar studi anaknya tetap aman.
"Sudah 20 tahun berlalu akhirnya pemerintah berterima kasih kepadaku...," pikiran Pak Sutan menerawang. Tatapannya jauh menembus ke luar melalui jendela ruang sal kelas tiga rumah sakit tentara itu, sambil mengelus tangan istrinya.**
Disarikan dari kisah nyata pada Proyek LC Tanah Perkotaan Subak Semila Jati, Desa Pemecutan Kelod Denpasar Barat, Provinsi Bali. Tahun 1995-1996. Nama tokoh disamarkan.
_____

Komentar