Sosbud | Sudut Pandang dan Jarak Pandang

Sudut pandang dan jarak pandang memberi rasa dalam sebuah penilaian.

Pemandangan Satu ; Menjewer

"Kau tidak perlu bertingkah seperti itu," ujar seorang tetua sebuah keluarga besar.

"Oh tingkah Kau itu boleh juga," gurau seorang kawan sebaya.

"Bagus..Kau sudah mulai memberinya pelajaran. Lebih keras lebih bagus," ujar seniornya saat masih pendidikan tamtama.

Pemandangan Dua ; Refleksi

"Hayoo Pak Tatang.. sekali waktu ikut refleksi. Saya sudah merasakannya. Encok jadi lenyap. Badan terasa ringan, segar. Hidup jadi lebih berarti," ujar bersemangat seorang pensiunan tuan tanah kepada tetangganya.

"...Haa..ternyata ini jadi penyebab barang-barang kebutuhan hidup melambung tinggi. Refleksi memperlambat kematian," seloroh seorang perokok berat yang juga seorang pelukis beraliran abstrak.

"Refleksi? Apa itu? Pijat-pijat itu ya? Dari zaman dulu khan sudah ada.. Iyaa... Iyaaaa.. bagus...baguuss..," sahut ketus seorang tukang gali kubur. Ketika ditawari pijat refleksi oleh kawannya yang beralih profesi dari bekas tukang servis jam.

Pemandangan Tiga ; Surga

"Ngapain lu obati? Saban hari elu ngomongin indahnya surga. Ngajak-ngajak pula. Nah bukannya sekarang elu boleh ke sana? Ngapain lu tunda?" canda seorang bakul kaki lima saat mengetahui kawannya pulang dari klinik sehabis kontrol rutin.

"Wah.. Wah.. Wah.. Wajahmu berseri-seri penuh warna seperti habis dari surga saja," komentar seorang kawan pada temannya yang baru saja keluar dari toilet umum.

Pemandangan Empat ; Musik

"There are basically two categories of music : metal and bullshit" —Bruce Dickinson - Iron Maiden

"Without music, life would be a mistake” ― Friedrich Nietzsche

"Heeyy Mastiiinnn... Hentikan suara tape ituuuu...lagunya jelek tidak karuan.. Pusing Ibu dibuatnyaa..," teriak Ibu Kos. Pendengarannya menolak suara hingar bingar musik anak muda.

Pemandangan Lima ; Antri

"Mas.. Mas.. Tolong antri Mas.. Yang lain juga ingin cepat dilayani," ujar petugas satpam pada sebuah bank. Saat melihat seorang pemuda menyalip antrian.

"Mas.. Mas mengapa mundur terus? Jangan begitu Mas..Antri yang baik Mas.. Semua ya tidak ingin mati..," ujar seorang tameng rumah jagal era '65.

Pemandangan Enam ; Ahok

"Naah ini baru kereeennn... Mantabs punya..lekas bersihlah itu pertamina dari monyet-monyet mata duitan," seru seseorang di dalam warteg saat menyaksikan televisi menyiarkan Ahok.

"Ahok? Apa hebatnya dia? Apa dia paham minyak?" ujar seorang petinggi partai yang akan terlihat aneh apabila tidak berkomentar minor.

Pemandangan Tujuh ; Pengemis

"Aku tadi memberi beberapa receh di lampu merah. Ya lebih karena merasa iba saja," ujar Solichin pada kawannya di dalam mobil.

"... Oh itu... Yang tadi itu... Aku memberinya beberapa rupiah karena menghargai perjuangannya. Panas dan berdebu. Keren itu bro," ujar seorang yang baru belajar menjadi motivator.

"Heeyy...hayooo.. Cepaat.. Berangkaat..sudah siang... Kau akan dapat apa kalau terlambat teruss???" teriak Bang Jali kepala preman Tanah Hijau kepada sekelompok belia lusuh dengan perlengkapan mengemis seadanya.

Pemandangan Delapan ; Berdoa

"Ya.. Tuhan ampunilah dosa-dosa hamba. Ampunilah dosa-dosa orang tua hamba. Berilah hamba kekuatan agar sanggup menghalau segala rintangan...," sembab mata Jumadi Langkir memanjat berbagai doa. Malam itu malam terakhir baginya karena esok akan ada lomba makan kerupuk tujuh belasan.

"Ya Tuhan, kalau Kau menginginkan saya tetap hidup. Maka hidupkanlah. Tetapi kalau Kau menginginkan saya mati. Maka matikanlah hamba," demikian lebih kurang ucapan doa Dahlan Iskan di depan pintu ruang operasi sesaat sebelum operasi ganti hati di negeri tirai bambu. **

Komentar

Postingan Populer