Mpu Kuturan, Arya Wedakarna, dan Dr. N. Subamia dalam Satu Sudut Pandang
Mpu Kuturan, Arya Wedakarna dan Dr. Nyoman Subamia dalam Satu Sudut Pandang.
Oleh: Onet Burton
Sedang terjadi percikan api di Bali. Seorang anggota DPD asal Bali, Arya Wedakarna telah memercikan bunga api di Bali. Pernyataannya yang kontroversial dikhawatirkan akan memicu gejolak kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali. Tidak dipungkiri, bahwa suara-suara yang dahulu memilihnya juga turut geram oleh pernyataannya itu.
Yang menjadi kontroversial adalah pernyataannya yang menyodok serta mengobrak-abrik keyakinan masyarakat Hindu Bali. Tentang tata cara dan berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa. Yang sudah sepuluh abad lebih berlangsung aman, damai dan tertib. Sepeninggal Mpu Kuturan.
Dalam video yang beredar luas di media sosial dan whats app group di Bali, sang senator secara jelas dan meyakinkan menyatakan bahwa, bethara-bethara yang berstana di pura-pura dan di tempat-tempat suci milik keluarga, bukanlah dewa. Melainkan mahluk suci. Bahkan ditegaskan dengan sebutan, "used to be human" yang berarti, dulunya adalah manusia.
Tak pelak, masyarakat Nusa Penida menjadi panas. Karena dalam pernyataannya, juga menyebut Ida Bethara yang berstana di Pura Dalem Peed di Nusa Penida adalah bukan Dewa. Melainkan hanya mahluk suci.
Melalui perwakilannya, masyarakat Nusa Penida menggeruduk kantor DPD di seputaran Renon Denpasar. Bermaksud menemui sang Senator mempertanggungjawabkan pernyataannya yang menyinggung masyarakat Nusa Penida dan masyarakat Hindu Bali pada umumnya. Seperti diketahui, Pura Dalem Peed juga disungsung oleh sebagian besar pemeluk Hindu Bali.
Sepak terjang Arya Wedakarna yang sering menyebut dirinya sebagai seorang Senator itu, sudah banyak diketahui sering membela kepentingan masyarakat Hindu Bali. Terutamanya dalam kehidupan perekonomian Bali. Cukup banyak program yang sudah dihembuskannya. Walau hasilnya belum dirasakan maksimal.
Rupanya sang senator cukup gemar melempar pernyataan kontroversial. Masih terngiang di telinga, beberapa bulan silam pernah menyatakan akan menghidupkan kembali ormas Tameng Marhaen. "Entah ada agenda apa yang sedang digadang-gadang," demikian ulasan pada sebuah artikel tulisan wartawan senior, Made Supriatma.
Jasa Besar Mpu Kuturan
Sekitar awal abad kesepuluh, di Bali sedang memerintah kerajaan Bedahulu. Semasa pemerintahan Raja Udayana, ada sumber juga menyebut semasa pemerintahan Raja Anak Wungsu, (Anak Wungsu merupakan putra ke-tiga dari Udayana) pernah terjadi gejolak kehidupan berkeyakinan. Terjadi pertentangan antar sekte. Terekam ada tiga kelompok besar dan enam sekte. Ketika itu Raja Anak Wungsu mengkhawatirkan terjadinya perpecahan dalam kehidupan umat.
Bahkan diyakini cerita Maya Denawa merupakan sebuah ilustrasi pertentangan antara sekte Waisnawa yang memuja Wisnu yang dianggap sebagai dewa air (Danu –> Denawa) dengan penganut sekte Indra. Sekte pemujaan terhadap dewa Indra yang luas berkembang di India. Sekte yang seperti ini sekarang masih dianut oleh masyarakat Desa Tenganan. Salah satu desa kuno di Bali Timur, Kabupaten Karangasem.
Menyadari kondisi pelik maka Raja Anak Wungsu minta tolong kepada kakaknya, Raja Airlangga yang sedang memerintah di tanah Jawa, Kerajaan Medang Kahuripan. Kemudian dikirimlah Mpu Kuturan ke Bali.
Sejarah mengatakan Mpu Kuturan berhasil meredam gejolak sekte di Bali. Beliau segera melakukan Pesamuhan Agung di desa Samuan Tiga di Bedahulu. Yang dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat Bali ketika itu, yakni :
1. Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2. Unsur masyarakat yang beragama Budha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3. Unsur masyarakat Bali Aga mewakili 6 Sekta Agama :
~Sambu
~Brahma
~Indra
~Wisnu
~Bayu
~Kala
Disepakati dalam Pesamuhan Agung itu bahwa ketiga kelompok masyarakat Bali mempersatukan dirinya ke dalam satu paham yang dinamakan Tri Murthi, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), sebagai Pemelihara (Wisnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
Satu paham Tri Murthi tersebut kemudian memunculkan konsep Kahyangan Tiga. Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat tanpa memandang sekte maupun wangsa/klan mereka. Ikatan yang lebih ditekankan pada kesatuan geografis tersebut (kesatuan desa adat) yang ada di masing-masing desa di Bali.
Dalam wilayah yang lebih luas yaitu kesatuan seluruh pulau Bali, konsep Kahyangan Tiga ini juga diterapkan di Pura Besakih sebagai pura paling utama (Mother Temple) di Bali.
Di Pura Besakih pada saat ini dijumpai juga 3 pura yang dianggap sebagai induk dari Kahyangan Tiga di seluruh Bali yaitu Pura Penataran Agung (sebagai pura Bale Agung), Pura Basukihan (sebagai pura Puseh) dan Pura Dalem Puri (sebagai pura Dalem Kahyangan Jagat Bali).
Mpu Kuturan ingin menjadikan Pura Besakih sebagai Pura Utama sebagai pemersatu untuk semua sekte, wangsa/keluarga dan juga desa/asal. Di samping Pura Besakih sebagai Pura Utama Kahyangan Jagat, beliau juga diduga sebagai pendiri (atau paling tidak mengembangkan) dari Pura Kahyangan Jagat lainnya yang disesuaikan dengan konsep Dewata Nawa Sanga seperti Pura Batur, Pura Batukaru, Pura Uluwatu dan lain-lain.
Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat Hindu di Bali, maka didirikanlah Pelinggih Menjangan Seluang atau Sakaluang. Menjangan Seluang atau Sakaluang karena itu manifestasi dari penyatuan berbagai Sekta Agama, menjadi satu paham yaitu Tri Murthi atau Agama Hindu (Brahma-Wisnu-Siwa).
Sampai di sini kemudian apakah sang Senator Arya Wedakarna memahami sepak terjang Mpu Kuturan? Mungkin ini adalah sebatas pertanyaan pribadi saja.
Namun lebih jauh apakah dia juga memahami apa itu 'Brahman Atman Aikyam?' karena dia juga menyebut kata 'used to be human?' Bukankah dalam Weda menyebutkan, Atman (human, manusia) itu adalah percikan terkecil dari Brahman (Tuhan)?
Kalau benar sang Senator memahami isi Weda, tidaklah perlu polemik ini sampai terjadi. Dia tidak perlu membuat jalur baru agar air sampai ke laut. Namun boleh jadi karena dia menganggap semua air bermuara ke laut. Ke planet yang dia sebut-sebut sebagai planet Tuhan. Air bisa meresap ke dalam bumi. Air bisa dimanfaatkan oleh mahluk hidup. Tanpa perlu ke laut untuk menyatu denganNya.
Oleh karena sifat Acintya, tak terpikirkan itulah, siapapun yang mengutak-atikNya akan terlihat bodoh.
Sudut Pandang Lain
Mungkin sang Senator punya pandangan lain. Dia mungkin bising, sumpek, resah dan gelisah dengan kehidupan perekonomian Bali yang hancur oleh karena wabah Covid-19. Namun yang lebih mengenaskan dan sangat terasa di kehidupan nyata adalah serbuan kekuatan ekonomi dari pelaku usaha luar Bali. Ini tentu pemikiran bagus dan sah-sah saja.
Namun kalau langsung menuding tata cara kehidupan berkeyakinan sebagai penyebabnya, tentu juga bukan hal yang elok. Hal yang sangat sensitif untuk diutak-atik. Kalaupun akan menuju ke arah itu tentu memerlukan proses dan waktu yang sangat panjang. Memerlukan antitesis yang ampuh untuk mengingkari hipotesis yang kokoh dan kemudian melahirkan sintesis yang bisa diterima semua pihak.
Konsep Agama
Lebih jauh mungkin sang Senator belum memahami konsep dari agama-agama yang ada di republik ini. Hindu sebagai agama yang yakini tertua berlabuh di negeri ini, mempunyai konsep seperti kerucut. Tumpeng. Sebagaimana bentuk tumpeng, dasarnya adalah lingkaran. Delapan arah dengan pusat di tengah adalah Dewata Nawa Sanga. Di atasnya ada Tri Murthi (Brahma, Wisnu, Siwa) yakni tiga fungsi Tuhan sebagai, pencipta, pemelihara, dan pelebur. Nah yang paling atas, paling puncak tentulah Tuhan Yang Maha Esa.
Berbeda dengan konsep agama lainnya. Kristen, Islam, dan Buddha mengambil konsep garis lurus langsung ke puncak. Langsung ke Tuhan. Tidak mengenal konsep lingkaran sebagai dasar menuju puncak. Itulah bedanya. Itulah kayanya pemahaman beragama di republik ini.
Ide Dari Dr. Nyoman Subamia.
Saya pernah berdiskusi dengan Bapak Dr. Nyoman Subamia. Seorang doktor yang mendalami bidang filsafat dan budaya Bali. Ide beliau cukup bagus diterapkan. Intinya beliau tidak membuat jalur baru untuk mengakomodasi air agar sampai ke laut. Namun merampingkan dan mengefisienkan jalur-jalur yang sudah ada. Mengenyahkan beban-beban yang memberatkan.
Artinya, tidak meniadakan makna filosofi dari tata cara pelaksanaan yang sudah ada. Seperti diketahui, tata upacara di Bali begitu memberatkan dalam pelaksanaannya. Biaya upacara yang mahal. Pelaksanaan yang bertele-tele. Peserta kegiatan yang berjibum.
Beban ini bisa dirampingkan dan diefisienkan. Bukankah dalam agama Hindu dikenal ada sembilan tingkatan upacara? Mengapa itu tidak dimanfaatkan? Tentu dengan penerapan itu akan sangat besar kontribusinya pada peningkatan kemampuan bersaing secara ekonomi dengan pelaku usaha luar Bali. Demikian lebih kurang inti ide dari Bapak Dr. Nyoman Subamia.
Dengan kearifan lokal yang sudah sekian abad tertata, kebijaksanaan para pini sepuh hindu di seantero Bali, percikan api yang disulut oleh sang Senator sepertinya hanya akan berlalu begitu saja. Semacam rasa gatal yang hanya singgah sebentar. Namun kalau tidak segera diantisipasi dengan pemahaman beragama yang baik, bukan tidak mungkin ini akan menjadi bara api dalam sekam. (*)
------------
Dirangkum dari berbagai sumber.
http://kb.alitmd.com/mengenal-pelinggih-menjangan-seluang/
https://dwimistyriver.wordpress.com/tag/pelinggih-menjangan-seluang/

Komentar