Cerpen | Ucapan, Uang dan Seporsi Tahu Tek
Samudji telaten mengikuti sebuah acara televisi. Matanya jarang berkedip. Tetapi binarnya kurang begitu antusias. Sesekali mengangguk-ngangguk. Seperti sepakat akan apa yang terucap di layar tivi.
Warung serba ada yang sudah dikelola belasan tahun, siang itu sedang sepi. Barang-barang sudah tertata rapi. Tagihan beberapa sudah terbayar. Seperti biasa, Anas berkunjung untuk sekedar melepas dahaga. Menenggak habis sebotol kecil yogurt impor.
Terlihat seorang pemuka agama sedang berceramah di layar tivi. Anas turut mengamati. Tiba-tiba Samudji mengubah saluran.
"Bosan bro..coba yang ini...naah...lumayan," ujar Samudji seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Saluran tivi sedang menyiarkan berita ekonomi.
Sang tivi memberitakan tentang kejatuhan ekonomi Eropa akibat imbas resesi global. Kemudian diberitakan juga tentang perang dagang Amerika dengan China.
Tiba-tiba telepon genggam Samudji berdering. "Bro aku jawab telepon dulu ya..kau cepat-cepat?" tanya Samudji pada Anas yang sedang serius menyaksikan tivi.
"Oh nggak..silakan..silakan kau jawab saja..aku santai koq..," sahut Anas sambil memainkan botol yogurt yang sudah kosong itu.
Samudji pun mendehem memperbaiki pita suara. Bersiap melakukan pembicaraan dengan si penelepon. Sepertinya bukan nomer yang tersimpan.
"Halo..iya..haloo...., iya benar saya sendiri..ini siapa..?" Samudji terlihat serius. Suaranya terdengar seperti mencari tahu. Kemudian, "Oh..Bapak yang kemarin ya...maaf Pak..sekarang saya sedang di kantor polisi..saya sedang menghadapi pemeriksaan. Saya dituduh menipu orang. Lumayan besar Pak. Milyaran...!" sambungan diputus. Samudji tertawa terkekeh-kekeh.
Anas yang menyaksikan tingkah bekas kawan SD-nya itu, mengangkat satu alis. Dia merasakan ada sesuatu.
"Hey..ada apa Sam...mengapa kau berbohong..?" tanya Anas penasaran.
"Daripada dia menipu duluan lebih baik menghindarlah. Kalau dijawab baik-baik dia akan terus mengejar. Kemarin aku jawab baik-baik. Nah sekarang dia mengejar lagi. Ya sudah aku kasi pukulan pamungkaslah..hehe..," Samudji terlihat girang. Merasa orang itu tidak akan menganggunya lagi.
Anas masih belum paham. Dia tahu ada yang belum sepenuhnya dia pahami dari tingkah kawannya siang itu.
"Maksud kau bagaimana Sam? Belum paham aku."
"Sebentar, aku pesan tahu tek dulu. Itu mumpung ada lewat. Lapar bro. Kau pesan juga?" Samudji menawarkan. Anas menggeleng. Dia masih fokus pada percakapan tingkat tinggi itu.
Tukang tahu tek langganan menerima kode telunjuk Samudji. Satu porsi sepuluh ribu rupiah dengan dua butir cabai hijau digunting tipis.
Samudji melanjutkan percakapannya, "Orang itu, yang nelpon tadi itu mengajak kerja sama. Seperti nanam modal. Untuk beberapa waktu hasilnya akan berlipat-lipat. Nah aku sama sekali tidak tertarik. Makannya aku jawab seperti itu.."
"Ohh itu..itu namanya model arisan berantai. Resiko tinggi itu. Aku pernah dengar itu. Baguslah kau tidak ikut..," sahut Anas senang kawannya selamat.
Tetapi Anas masih penasaran. Dia tahu alasan Samudji jauh lebih memikat. Jauh lebih legit. Daripada alasannya yang cuma sekelas kerupuk.
Samudji kemudian mengeluarkan selembar uang kertas. Sepuluh ribuan. Diletakkan di atas meja kasir.
"Okay bro..nih aku jelaskan sikit isi kepalaku. Mengapa aku tidak tertarik sama sekali dengan tawaran orang di telepon itu," ucapan Samudji mulai serius. Kata-katanya jelas. Lebih serius dari sang penelepon. Anas lebih serius lagi mendengarkan.
"Ini.. kau lihat uang ini? Uang di meja ini? Uang sepuluh ribu ini?" Samudji menuding uang di meja.
"Iya aku lihat..jelas..itu sepuluh ribu," sahut Anas dengan suara tebal. Dia tidak mau kawannya itu mengulang-ngulang pertanyaan. Urusan mendengar dia merasa masih sanggup.
"Baik..bagus..orang di telepon tadi hanya mampu bilang, hanya mampu berkata, hanya mampu mengucap 'sepuluh ribu' saja."
Sejurus kemudian pesanan seporsi tahu tek datang. Diletakan di meja. Disebelah lembaran uang kertas itu.
"Siip...ini... pas. Sepertinya memang takdirmu memperoleh penjelasan yang nyata..!" ujar Samudji sambil menahan lapar. Aroma tahu tek panas berbumbu kacang itu membuat mekar pikirannya.
"Aku percepat ya bro...Sekarang kau fokus pada tiga hal. Pertama, ada ucapan 'sepuluh ribu rupiah' kedua, ada selembar uang sepuluh ribu rupiah. Ketiga, ada seporsi tahu tek seharga sepuluh ribu rupiah. Dari ketiga hal tersebut, yang mana sekiranya yang membuat manusia bisa hidup?" tanya Samudji sembari melahap sang tahu. Panas tapi nikmat.
"Yaa..jelas tahu tek lah bro..pertanyaan kau terlalu mudah," sahut Anas berbinar sembari menelan ludah. Menyaksikan kawannya lahap menelan tahu.
"Bagus..kau cepat paham. Orang ditelepon tadi adalah contoh hal yang pertama. Dia hanya pandai berbicara. Bercuap-cuap saja kerjanya. Kau bayangkan, sudah kerjanya cuma bercuap-cuap pakai tipu-tipu pula. Hidup model apa yang dia pilih? Membuat orang terperosok saja. Aku ragu, apakah nyamuk masih sudi menghisap darahnya? Hehehe.."
"Trus..hal yang kedua. Apa contohnya? Siapa orangnya?" Anas memburu. Pengetahuannya mulai dahaga. Tangannya sudah menggamit sebotol air mineral. Roti kemasan sedang terkunyah di mulutnya. Dia terpapar rasa lapar akibat menghirup aroma tahu tek.
"Oh iya.. hal kedua..selembar uang itu..ya. Lembaran uang itu tidak bisa dimakan. Dimakan pun akan susah menelannya. Aku ini contohnya. Aku harus menukar uang ini dengan seporsi tahu tek. Aku ini adalah kaki tangan kapital. Kaki tangan modal. Sebenarnya aku malu mengatakan ini karena jelas aku ada di dalamnya. Tapi demi keadaan yang sebenarnya, rasa malu harus minggir... Hehe.... Jangan kau kira tidak ada unsur tipu-tipu dalam kapital ini. Ada broo.... Hehe... Adaa..!" ujar Samudji terkekeh-kekeh lebar. Dia bilang malu tapi kalimatnya berlanjut. Daun telinga Anas melebar. Perhatiannya memusat.
"Roti yang kau makan itu aku beli seharga sembilan ratus rupiah. Kemudian aku jual dengan harga seribu rupiah. Nah, seratus rupiah itulah aku sebut tipu-tipu yang berunsur pemerasan. Kalau mendiang BJ Habibie menyebutnya sebagai nilai tambah, added value." ujar Samudji meyakinan.
"Unsur pemerasan yang aku sebut, kau pernah lihat buruh demo? Itulah tanda pemerasan yang sudah tidak kuat dihadapi buruh. Tanpa demo saja pemerasan itu terus berjalan. Bisa kau bayangkan serakahnya kapital itu." ujar Samudji sambil memainkan sendok tahu.
"Lha trus ngapain kau berjualan?" sergah Anas. Suaranya terdengar memvonis.
"Aku sejatinya kurang sreg. Tetapi mau bagaimana lagi? Lha wong negara sudah memilih jalan ini. Tapi asal kau pahami, walaupun aku kaki tangan kapital, tidak sepenuhnya aku melakukan pemerasan. Aku jual tidak mahal-mahal. Aku tidak mau mempekerjakan orang. Aku tidak mau makan dari keringat orang. Tapi aku tahu roti yang kau makan itu ada unsur pemerasannya. Kau lihat tadi di siaran tivi? Ekonomi Eropa dikabarkan ambrol? Itulah contoh kapital. Di sana kantor-kantor saja berdiri. Sementara pabrik-pabrik di negara miskin. Mereka mencari upah murah. Sekalinya pabrik tidak berproduksi, kapital tidak mengalir. Maka ekonominya ambruk."
"Nah hal ketiga aku tahu. Tak perlu kau jelaskan lagi. Contohnya Tukang Tahu Tek di depan itu khan? Iya khan?" Anas bersemangat sanggup mengikuti jalan pikiran kawannya itu. Samudji menyahut dengan memberinya jempol.
"Benar kau bro..walau tidak sepenuhnya benar. Orang-orang seperti tukang tahu tek, inilah yang sejatinya sanggup memberi hidup. Tapi kalau kau pahami, tukang tahu tek ini juga sebenarnya menjadi kaki tangan kapital. Karena dia mencari uang. Segala yang berhubungan dengan uang pasti adalah kaki tangan kapital. Karena kapital ya uang itu sendiri," ujar Samudji yang membuat kepala belakang Anas menjadi hangat.
" Kau sudah membuat kepalaku puyeng. Hal ketiga ini belum juga aku pahami," Anas mendekatkan kepalanya ke kipas angin.
Samudji melanjutkan, "Baik..begini saja. Agar kau lebih mudah memahami. Tadi pagi saat kau akan sarapan, kalau kau hanya berucap saja dengan harapan ada yang membelikan bubur ayam, kau masuk ke hal yang pertama. Tapi kalau kau langsung keluar membeli bubur ayam, kau masuk ke hal kedua. Dan hal ketiganya adalah kalau kau memasak sendiri bubur ayam itu. Nah itu bro! Sudah paham kau?"
" Naah..yang ini baru aku paham. Iya bro..tadi pagi aku keluar beli bubur sendiri. Berarti aku masuk hal kedua. Aku kaki tangan kapital. Budak kapital. Sama seperti kau.. Haha... Tos.. Bro.. Tos... Kita senasib.." Anas tertawa lepas. Samudji ikut tertawa senang. Yang penting kawannya itu sudah memahami.
Tukang tahu tek ternyata sudah hilang. Saking lamanya menunggu. Esok pasti akan kembali mengambil piring dan bayaran sepuluh ribu rupiah. Sebuah kapital dengan kearifan lokal yang aduhai. **

Komentar