Cerpen | Warung Nasi Rasa Nara
Dua lampu merah sudah terlewati. Jok belakang Jeep Trooper tua penuh dengan barang dagangan. Berangkat pagi dengan tergesa-gesa menjadi sebab lupa ngudap.
Matahari mulai tinggi. Sekiranya sudah jam sepuluh lebih. Rasa lapar mulai menggoda.
"Aku harus cari makan," gumam Tortar sambil menyapu pandang sisi kiri dan kanan jalan besar itu.
"Wah..restoran semua. Mahal. Mana cukup..,"desisnya. Seakan berbicara dengan penghuni perut yang mulai gusar.
Laju Trooper melambat. Mendekati perkantoran pemerintah ada perempatan.
"Coba ambil kirilah..tentu ada warung kecil. Ngganjal perut saja masa masuk restoran..heh..,"selorohnya menawar riuhnya perut.
Baru beberapa meter belok kiri, dari kejauhan terlihat seorang petugas kebersihan. Setelan hijau-hijau. Topi juga hijau. Menyeret-nyeret keranjang sampah. Sapu lidinya bertangkai panjang.
"Naah ini dia. Coba aku tanya Bapak ini. Pasti dia tahu warung makan dekat sini."
Tortar segera ambil kiri. Memarkir dekat petugas kebersihan itu. Hitungan detik dia sudah di depan petugas itu.
"Maaf Pak..mohon tanya, di mana ya dekat sini ada warung makan?"Tortar bertanya sembari membungkukkan badan. Bukan karena lapar. Agar dapat melihat wajah Bapak itu. Bibir topinya terlalu panjang. Menutupi sebagian wajahnya.
" Ohh..iya..ini Pak..ini di balik gerbang ini langsung belok kiri, Bapak langsung masuk saja. Ada warung makan di sana."
"Di Polsek ini? Di gerbang Polsek ini?" Tortar meyakinkan diri. Gerbang Kantor Polsek tepat ada di depannya. Gerbang utara. Dia belum pernah sekalipun berurusan dengan polisi.
"Tak apalah sekali ini aku masuk halaman kantor polisi. Lagi pula ini khan urusan perut. Lapar. Siapa peduli?" Demikian pikiran normalnya menasehati. Bisa jadi ini kolaborasi, kerja sama antara penguasa perut dan pikiran. Penguasa rasa malu sementara mengalah.
"Terima kasih Pak, terima kasih,"lanjutnya seakan meneruskan lamunan sepersekian detik tadi.
Bapak petugas kebersihan itupun berucap dengan mengangguk saja.
Langkah agak berat menapaki halaman kantor itu. Lengang. Pos penerimaan tamu terlihat sepi. Mungkin takdir. Dia belum boleh berurusan dengan polisi. Bahkan hanya sekedar dilihat.
Tiga langkah melewati gerbang, langsung belok kiri. Melintasi lorong lebar semeter. Lorong sepanjang lima depa itu berakhir tepat di depan warung nasi itu.
Warung nasi itu berbatas langsung dengan pagar kantor. Sisi lawannya terlihat seperti halaman parkir. Ada beberapa sepeda motor di sana.
"Ini dia..mengapa tersembunyi ya? Apa mungkin ini hanya untuk penghuni kantor? Apa ini kantin? Ah mungkin ini kantin. Tak apalah.." Dalam kelaparan dia masih sanggup bertanya-tanya.
Tenang dia masuk. Tak ada orang. Meja tempel dinding dan ada beberapa kursi plastik. Rapi. Tak terlihat bekas makanan. Penjualnya pun tak terlihat.
"Halo.. Halooo..beli nasi Buuk.. Paakk.. Halooo..." setengah berteriak setengah memohon. Sambil menjinjit-jinjit berusaha mendongak. Barangkali penjualnya ada di belakang.
"Oh iyaa..sebentar..Paak.."suara lelaki terdengar dari balik dinding belakang.
Sejurus kemudian nonggol lelaki muda dari pintu belakang. Terlihat seperti sedang menyela pekerjaan.
"Silahkan duduk Pak, saya siapkan nasinya"
"Baik Pak.."
Baru saja duduk sambil mengakrabi ruangan, hidangan sudah datang.
"Silahkan Pak, maaf tadi menunggu. Sedang sibuk di belakang," lelaki muda itu mengalas dengan maksud membuat nyaman.
"Tak apa. Terimakasih ya."
"Minumnya Bapak boleh ambil air mineral ini saja. Minuman lain sedang kosong,"lelaki muda menunjuk air botol dengan jempol. Sungguh santun. Tortar mengangguk mengiyakan.
Sedang mengunyah suapan pertama, pikirannya mulai bergerak. Tergelitik.
"Menunya kok gini? Aneh. Nasinya banyak benar. Tapi keras. Katos. Ikan asin. Mie kering. Irisan tempe dan tahunya tipis benar. Kering pula," gumam Tortar di perut karena mulutnya sedang mengunyah.
Serta merta dia menoleh ke arah rak kaca. Etalase menu. Menu yang ada di piring di hadapannya, ada semua di rak itu. Tak ada yang lain. Sambal pun tak ada. Di meja tak ada minuman lain kecuali air mineral botol. Itu pun yang ukuran tanggung saja.
Pikirannya menerawang. Menjelajah.
"Warung nasi apa ini? Kantin apa ini? Emang polisi-polisi itu makanannya seperti ini? Bisa sampai gendut begitu? Hah? Hehehe.."sampai terkekeh perutnya menggumami.
Pertanyaan-pertanyaan dan rasa keingin-tahuan akan kejanggalan, turut membantu menghabiskan menu kering siang itu. Selain air mineral tentunya.
Penuh sudah perut terisi. Kenyang bukan kepalang. Dia memang belum pernah menyisakan makanan. Keyakinannya, makanan tidak boleh dibuang. Banyak yang kekurangan makanan di belahan bumi lain. Dia menyadari itu.
Lelaki muda itu tak terlihat. Tentu melanjutkan pekerjaannya di belakang.
"Paak.. Sudah paak."
"Iyaa Paak.. Sebentar."
"Berapa semua Pak? Airnya satu."
"Tiga ribu saja"
"Hah? ..yang benar Pak. Tiga ribu? Saya makan lho Pak.."
"Iya Pak. Tiga ribu saja."
Enggan memperpanjang, Tortar segera membayar. Dia semakin penasaran. Bayar parkir saja sudah dua ribu. Ini makan dan minum. Tiga ribu itu harga sebotol air mineral. Makannya?
Rasa penasaran membuatnya mengikuti langkah lelaki muda itu.
"Boleh saya lihat ke belakang? Bapak sedang mengerjakan apa?“
"Oh..boleh Pak..boleh..silahkan.."
Lelaki muda itu mendahului. Di ruang belakang yang tidak terlalu luas, kira-kira tiga kali tiga meter, lelaki muda bersama dua orang, sedang sibuk membungkus nasi. Menu yang dibungkus persis sama dengan yang sudah masuk ke perutnya. Belum juga Tortar sanggup menerka.
"Oh ternyata Bapak jual bungkusan juga ya. Mau dijual ke mana?"Tortar coba menebak.
"Bukan Pak. Ini ransum,"sahut salah seorang.
"Ransum? Buat siapa? Sebegitu banyak?.." Tortar melihat tiga tas besar menunggu penuh.
"Yang di sini cuma dua puluhan bungkus Pak. Untuk di Polda dan Brimob yang banyak. Kadang bisa sampai seratus lebih"
Tortar mangut-mangut. Kepalanya ringan seketika. Rasa penasarannya rontok berantakan. Mendebu. Lenyap seketika.
"Uwaladalaah..aku barusan makan makanan napi..!"batinnya berteriak. Air mukanya terlihat aneh. Tapi dia masih tenang. Sempat mampir senyum unik di wajahnya.
"Trus selama ini, Bapak buka warung ini, menunya itu-itu juga?"
"Iya Pak, yang makan di sini juga itu-itu saja. Tukang kebersihan itu saja. Kawannya lumayan pak."
"Trus kenapa sampai murah begitu? Apa tidak rugi?"
"Tidaklah Paak..khan dimodalin Polda. Tenaga kita juga dibayar. Sebulan sekali diberi modal. Dihitung dari total tahanan tiga tempat itu. Sebelum Bapak makan tadi, kami sudah untung Pak."
"Baik. Sudah paham saya sekarang. Boleh saya usul?"
"Usul apa Pak?"
"Bapak beri nama ini Warung. Warung Makan Rasa Nara."
"Wah kebetulan Pak. Nama saya Nara. Bapak tahu dari mana?"
"Bukaan..maksud saya Nara Pidana.."
Kami pun tergelak tak beraturan. Menggelaki pengalaman unik itu.
Senyum landai tak lepas dari raut Tortar. Begitu keluar dari area Kantor Polsek Kota itu, Bapak petugas kebersihan terlihat melambai. Tortar pun membalasnya dengan lambaian.
"Terima kasih Pak untuk hidangan proletarnya. Tetap semangat!" serunya dalam hati.
Ada seruan lanjutan yang dia ucapkan di dalam Jeep sembari mengepalkan tinju, "Merdeka!"
Entah merdeka dari rasa lapar atau merdeka dari menjalani hukuman. Karena sudah melahap ransum itu? **

Komentar