Humor | John Marbut di Siang Pelataran Kantor Dinas

Menjelang siang, di pelataran Kantor Dinas Kependudukan, John Marbut Sigura sedang sendiri. Ya, ini tentu bukan nama sebenarnya. Dia sedang menunggu seseorang mengurus surat-surat. Hatinya berbunga begitu melihat Jack juga ada di seputaran pelataran itu.

Jack Siaw Sulangeni adalah kawan karibnya saat SMA. Nama sebenarnya tidak diketahui. Walau lain kelas, mereka dikenal sebagai pentolan GBTR. Geng Begundal Tukang Ribut.

"Heeyy.. Jack... Jaaack..!" teriak John dari arah jam tujuh. Suaranya melengking.

Pita suaranya memang kurang bagus. Perubahan suara dari rendah ke tinggi begitu frontal. Kurang landai. Tidak linear. Seperti ada pita suara yang melintir.

Menarik kalau bercakap-cakap dengannya. Dalam obrolan santai dengan suara datar, hanya ingin menekankan pada satu suku kata, dia bisa tiba-tiba mengeluarkan suara melengking. Kalau tidak terbiasa, lawan bicara akan terkaget-kaget. Bahkan daun telingapun perlu menyesuaikan diri.

Keunikan suara John itu pernah mengacaukan penjurian lomba burung kenari. Seluruh pasang mata memelototinya. Hingga dia diberi pilihan untuk tutup mulut selama lomba atau hengkang.

"Saya khan orang. Bukan kenari..," gerutunya berulang-ulang sepanjang lomba itu.

Jack yang dipanggil tidak menyahut.

"Hooeeyy.. Jaack..!"

Tidak ada respon.

Jack membelakangi John. Lumayan jauh. Beberapa orang di sekitar pelataran kantor itu malah menoleh ke arah John. Satu orang memberi kode menunjuk-nunjuk telinga.

"Oaallah..dia pake headset..pantesan..," gumam John kembali duduk di bangku antik di bawah pohon besar berdaun rimbun. Angin sepoi-sepoi. Sejuk. Dia tidak mau meninggalkan tempat itu. "Biarlah sebentar lagi dia pasti melihatku," desisnya halus.

Berjurus-jurus lewat, Jack masih asyik dengan gawai yang berheadset. John tak sabar. Dipilih sebutir kerikil sekacang tanah. Dilempar ke arah Jack. Meleset. Tidak kena.

Diulang sekali lagi dengan kerikil yang agak lebih besar. Kali ini disertai doa, "Semoga kena."

Dan, "Pleeetok," tepat mengenai kepala.

"Haddaouh..," orang itu meringis merasakan sakit. Serta merta menoleh tajam ke arah datangnya lemparan.

"Hey..John siapa yang Kau lempar itu?" suara landai seseorang menyapa dari arah belakang.

Warna suara yang dia kenal. Jack tersenyum di belakang John. Kedua tangannya mencekal dua gelas es kopi. Dia tahu John suka es kopi.

"Dari tadi aku sudah lihat kau di sini. Nih es kopi kesukaan kau. Aku beli di seberang jalan," ujar Jack sambil menyodorkannya.

Mata John gelagapan. Badannya langsung panas dingin. Tidak sempat menyahut. Tangannya menuding ke sana ke mari. Sekali menuding orang itu dan sekali waktu menuding Jack. Suara melengkingnya beraksi meracau tak karuan.

Orang yang ditimpuk itu ternyata bukan Jack. Sungguh sial, orang itu ternyata adalah orang yang gagal menjadi mertuanya.

John bisa membayangkan alangkah mendidihnya darah orang tua itu. Apa mau dikata wajahnya sudah diketahui. Dialah yang melemparinya dengan kerikil sebesar guli.

"Heeyyy... Kau...whooeeyy.. Kau yang lempar ya...? Kena kepala whoeey....Manusia durhaka! Sudah mempermainkan anakku.. Sekarang Kau nimpuk Aku.... Apa mau Kau..? Macam-macam ya..Awaass Kau..!" teriak orang itu sambil mengusap-usap kepala, beranjak mendekat. Langkahnya semakin cepat.

Jack belum sadar apa yang sedang terjadi di hadapannya. John sudah lari kalang kabut menyelamatkan diri.

"Sudah.. Sudah.. Pak.. Maafkan kawan saya itu.. Dia pikir bapak adalah kawannya," Jack langsung tanggap dan berusaha meredakan situasi.

"Hey.. Dia nimpuk saya! Dia melempari saya batu! Dia tidak mungkin main-main! Dia itu tahu saya! Manusia kurang ajar!" ujar bapak itu bersungut mendelik dengan nada tinggi. Geramannya berlanjut, "Kalau memang dia perlu saya, mengapa tidak datang saja? Mengapa menimpuk saya? Dia memang ingin berkelahi. Hayoo..mana dia? Mana kawan kau itu hah?!"

Jack berusaha keras meredam. Ditahannya langkah brutal sang korban. Dirangkul. Digenggam erat kedua bahunya. Langkahnya terhenti. Tangannya mengusap kepala. Beruntung tidak berdarah.

John masih bersembunyi di balik pagar hidup. Mengendap-endap. Jantungnya masih berdegup kencang. Kabut dosa terasa begitu tebal menyumpal hulu hatinya. Hingga datang suara mendayu menghampiri daun telinganya.

"Maas... Mas Marbut... Lagi ngapain? Sampai mengendap-endap begitu, main petak umpet ya mas?" ujar lembut seorang wanita. Begitu cantik. Jenjang. Kulitnya bersih. Bola matanya bening. Rambutnya sebahu. Dadanya penuh. Tatapannya kalem.

Bak tersambar petir di siang bolong, dua detik John ternganga. Reny, bekas pacarnya yang juga tidak diketahui nama sebenarnya, adalah anak gadis orang yang baru saja dia timpuk, menyapanya begitu hangat.

Dari kejauhan terlihat sang bapak melambai.

"Mati aku..," desis John.

"Mas..itu ada bapak. Sana temuilah. Walau kita tidak jadi nikah, setidaknya hubungan tetap baik," halus lembut terdengar saran sang mantan. Namun begitu susah nan runyam mendarat di telinga John.

John tak mampu berkata-kata. Seketika dia berbalik arah mengambil langkah seribu. Begitu menyadari sang bapak datang mendekat juga dengan langkah cepat.

"Maas..Mas Marbuuut...mau ke manaaa?" teriak Reny nyaring memoles suasana runyam siang itu. **

Komentar

Postingan Populer