Sosbud | Dialektika, Aibon dalam Perubahan Kuantitatif ke Kualitatif
Seorang ibu sedang asyik memasak sayur sup. Sebentar lagi matang. Sang ibu terlihat sedang mencicipi rasanya.
"Ah..kurang sedikit garam, masih terasa hambar," gumamnya sambil menelan cicipan itu. Ditaburi garam sejumput. Dicoba lagi. Matanya merem merasakan pas tidaknya garam yang baru saja larut. Kepalanya menggeleng. "Kurang lagi sedikit saja," ditabur lagi. Dicicipi lagi. "Naah..ini baru pas..sedaap.."
Itulah sekelumit peristiwa yang umum terjadi. Tentu sering dialami oleh siapapun terutama oleh ibu-ibu yang biasa memasak.
Peristiwa itu pulalah yang merupakan salah satu contoh dari hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Hal yang paling mendasar dari hukum dialektika. Selain hukum tentang kutub berlawanan yang saling merasuki dan hukum tentang negasi dari negasi. Tiga hukum ini merupakan ringkasan dari hukum dialektika yang didefinisikan Engels sebagai "ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran. (Anti-Dühring dan The Dialectics of Nature)
Seseorang pastilah menganut dialektika sampai tahap tertentu, kebanyakan, tidak secara sadar. Seorang ibu rumah tangga tahu bahwa sejumlah tertentu garam membuat rasa sup menjadi sedap, tapi jika ditambah lagi, justru akan membuat rasa sup itu tidak karuan. Dengan demikian, seorang perempuan petani yang buta huruf mengajar dirinya untuk memasak sup melalui hukum Hegelian, peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Contoh-contoh serupa dari hidup sehari-hari dapat dikutip tanpa akhir. Bahkan hewan pun tiba pada kesimpulan-kesimpulan praktis mereka bukan hanya berdasarkan silogisme Aristotelian tapi juga berdasarkan dialektika Hegelian. Demikianlah seekor rubah sadar bahwa hewan berkaki empat dan burung rasanya sedap dan bergizi. Ketika ia menampak seekor kelinci atau ayam, sang rubah akan menyimpulkan, hewan ini termasuk dalam jenis yang lezat dan bergizi dan - memburunya. Kita lihat di sini sebuah silogisme yang lengkap sekalipun rubah itu, bolehlah kita simpulkan, tidak akan pernah membaca karya Aristoteles. Walau demikian, ketika rubah yang sama menampak hewan yang mirip tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar, misalnya, seekor serigala, ia akan menyimpulkan dengan cepat bahwa kuantitas telah berubah menjadi kualitas, dan berbalik kabur. Jelaslah bahwa kaki-kaki sang rubah diperlengkapi dengan kecenderungan Hegelian, sekalipun tidak dalam makna yang sadar. (Trotsky, In Defense of Marxism, p. 106-7)
Lem sejenis Aibon berbahan dasar Bensin, Crepe Rubber dan Mastic Vernice. Masing-masing dengan perbandingan volume dan berat tertentu. Bensin dan Crepe Rubber terlebih dahulu dicampur hingga mirip bubur. Kemudian dimasukan Mastic Vernice sedikit demi sedikit sambil diaduk terus. Terjadi proses perubahan kuantitatif menjadi kualitatif hingga menjadi lem. Takaran Master Vernice sampai tahap tertentu, dihentikan hingga menghasilkan lem berkualitas. Sekualitas lem Aibon yang meresahkan petinggi kota Jakarta itu.
Peralihan kuantitas menjadi kualitas dialami oleh lem Aibon selalu terjadi pada setiap proses pembuatannya. Bahwa dalam perkembangannya beberapa waktu yang lalu, lem Aibon menjadi variabel dalam peralihan kuantitas menjadi kualitas pada kualitas manusia pejabat kota Jakarta, ini tentu menarik.
Kuantitas nilai Aibon yang jauh melambung, menyebabkan terjadi perubahan kualitas manusia pengelola anggaran. Ibarat sang ibu yang mestinya cukup menggarami sup dengan sejumput saja, ini malah merelakan segenggam garam pada semangkuk sup.
Uniknya sang gubernur menuding kurang akuratnya sistem anggaran elektronik warisan gubernur sebelumnya. Ini berarti dia menuduh sistem tidak mampu menolak kesalahan angka. Parahnya kalau diibaratkan pada sayur sup, sang mangkuk tidak sanggup menolak kiriman segenggam garam. Dan yang membuat masyarakat lebih terpingkal-pingkal, dia ingin mengganti mangkuknya. Padahal anak buahnya sang kepala Bappeda sudah memberi contoh yang baik. Mundur.
Kalau diibaratkan dengan perumpamaan rubah-nya Trotsky, sang rubah masih bisa bercanda ria di depan srigala kelaparan itu. Sembari mengumbar berbagai teori yang sekiranya bisa membuat senang sang srigala.
Seperti yang sudah disebut di atas, perubahan kuantitatif menjadi kualitatif merupakan salah satu hal yang menjadi dasar dalam hukum dialektika. Sang gubernur menangani kasus Aibon bagai lelucon alam bawah sadar yang menyeruak dan dengan sadar dipertontonkan. Sama sekali bukan sebuah kontradiksi dari sebuah sistem anggaran elektronik yang handal. Setidaknya hingga saat ini. Ibarat sebuah benih. Sang gubernur memberikan kontradiksi dengan menginjak benih tersebut. Padahal dengan menyiramnya dan memberinya pupuk sang benih tentu akan tumbuh. Dia akan menegasikan, mengontradiksikan dirinya sendiri. Dari benih akan menjadi tunas dan kemudian menjadi pohon.
Atau sang gubernur merupakan kontradiksi dari sesuatu yang lebih besar? Dari sistem yang lebih luas? Kontradiksi dari sang presiden? Boleh jadi. Ini perlu ditelaah lagi.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa kontrakdiksi, pertentangan tidak selalu harus lebih unggul dari sistem atau teori atau hipotesis yang ada. Intinya adalah berlangsungnya romantisme dialektika itu. Oleh karena dengan itu semua pihak akan merasakan pengalaman baru, pengetahuan baru, hubungan baru tentu dalam koridor pemaparan logika yang sehat. Hasilnya tentu akan mengandung makna yang mendalam. Diterima oleh semua pihak. Terlepas dari lahir tidaknya teori, kesimpulan ataupun sistem yang baru. Karena kontradiksi, pertentangan adalah satu ciri yang hakiki dari seluruh keberadaan.
Bukankah seorang calon ibu akan panik kalau kandungannya tidak terjadi kontraksi? **

Komentar