Humor | Gratis dan Kembarannya

"Oh tidak bisa Mas..kalau lima puluh ribu bolehlah..atau ambil lima sekalian saya beri gratis satu," ujar seorang penjaja pakaian obral impor di sebuah sudut pasar.

Ujaran tersebut masih berputar-putar di kepala. Seperti tidak mau keluar. Akhirnya Rasuli dalam kelaparan mencoba mengurai ujaran itu menjadi kecil-kecil, kemudian digilas menjadi debu hingga harapan angin datang meniupnya lenyap.

Alam raya sudah menyediakan segala kebutuhan manusia. Oleh karena manusia sendiri berasal dari alam. Sesederhana itu.

Berarti istilah 'gratis' dalam kehidupan fana ini hanya mengingatkan saja. Bahwa memang demikianlah seharusnya. Demikianlah aslinya.

Bahwa kemudian ada istilah, 'tidak ada makan siang gratis' ini semata-mata adalah ulah saudara kembar dari si gratis. Saudara kembar yang dilahirkan oleh pikiran manusia.

Saudara kembarnya bernama AT. Alat Tukar. Bentuknya berubah-ubah sejak dilahirkan. Hingga saat sekarang AT ini mengerucut berbentuk lembaran kertas dan koin. Dikenal dengan nama uang.

Walaupun kembar, dua figur ini berbeda karakter. Memiliki sifat bagai bumi dan langit. Yang satu pamrih, satunya lagi ikhlasan. Satu pemalu, satunya suka memamerkan diri. Suka memajangkan diri. Misalnya nasi rames Rp. 10,000.

Bahkan AT kadang suka menyalin rupa meniru kembarannya misal dengan DP nol rupiah atau nol persen.

Oleh karena kembar, maka di mana ada uang di sana ada gratis. Rasuli mencoba melakoni pemahaman ini. Saat dia membeli semangkuk bakso. Dia tidak sekalipun mengatakan 'membeli' atau 'beli pak'  atau, "beli satu porsi pak" tidak! Tidak sama sekali. Dengan maksud agar tidak dilirik oleh AT.

Dia cuma mengatakan, "Satu Pak." Bahkan dia mengucap, "Minta satu Pak." Dan ada kalimat lanjutannya, "Pakai telur ya pak."

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Tukang bakso itu akan tersenyum senang dan segera menyiapkan satu porsi bakso. Segala pernak pernik bakso masuk semua ke dalam mangkuk. Bahkan tukang bakso menambahkan dengan kalimat, "Kalau kurang pedas, sambal dan saosnya tambah sendiri ya deen.."

Sungguh hidup yang nikmat dan mulia. Sampai di sini Rasuli mangut-mangut. Sendok di mangkuk bakso belum disentuh. "Ini masih dalam kuasa gratis. Masih dalam pengaruh gratis," pikir Rasuli.

Bakso itu habis dalam beberapa menit. Air mineral pun ditenggak. Kemudian dia santai beberapa saat. Memberi selah bakso memenuhi ruang laparnya.

Kemudian dia beranjak dua langkah. Duduk di sadel motor. Tukang bakso mengawasi. Rasuli sadar sedang diawasi. Tetapi dia juga sadar tidak pernah membeli. Dia minta.

Sepeda motor dihidupkan. Tukang bakso menghampiri. "Den..baksonya belum dibayar deen..," ujar tukang bakso. Matanya menelisik.

"Oh.. Iya..maaf Pak..saya lupa..tapi.." belum selesai kalimatnya, seketika ada suara menyambar mereka. Rasuli seperti mengenal suara itu. "Hey..kau beli apa minta?" Orang itu terlihat sudah di antara mereka. Rasuli menyahut dengan suara gemetar, "Saya minta Paak!"

"Nah..Pak bakso, orang ini bilang minta. Dia tidak beli. Apa dia harus bayar?"

"Iya dia harus bayar Pak.." belum habis kalimat tukang bakso, datang lagi seseorang. Pakaian seperti orang bengkel. Rasuli juga seperti mengenalnya. Orang ini langsung nyerocos setengah berteriak, "Iyaaa Pak Baksooo..orang ini khan bilang minta..sekali lagi orang ini bilang MINTAAA...bukan beliiii... Masa harus bayarrrr??"

Ketiga orang itu melototi Rasuli. Salah satunya membawa kunci inggris. Merasa tidak membawa uang, Rasuli lari tunggang langgang.

Pemahamannya tentang istilah gratis gagal ia tularkan. Orang-orang sudah begitu terkontaminasi dengan alat tukar.
".... Inii..jelas karena saya telat lahir..harusnya saya lahir sebelum AAAT.......!!" teriaknya saat pelarian beberapa meter itu tertangkap.

Pak AT tukang obralan pakaian impor menjewer paling keras. Dia tidak ambil peduli mengapa namanya sampai disebut. Pikirannya cuma satu. Celana dan kaosnya harus terbayar. **

Komentar

Postingan Populer