Sosbud | Jam Tangan Memilih Tangan

Akhirnya keluar juga Anas dari ruang ujian itu. Raut mukanya kurang bergairah. Dia baru saja melakukan tes wawancara untuk sebuah posisi kerja. Di sebuah perusahaan asing.

"Gagal bro.. Aku tidak diterima," nada lunglai keluar dari mulutnya.

Samudji yang mendengar berita kawannya itu langsung membesarkan hati.

"Masih banyak kesempatan bro. Kau sebenarnya cukup cerdas. Pengalaman kerja Kau juga meyakinkan. Bahasa Inggris Kau begitu cair. Pasti ada yang tidak beres."

"Hayo kita cari minum dulu. Turunkan dulu panas kepala Kau itu," ajakan Samudji disambut anggukan.

Di pelataran parkir gedung bertingkat itu ada warung kopi. Dengan dua meja betonnya. Di bawah rindang pohon besar. Mereka memesan es kopi.

"Ah..Aku tahu mengapa Kau tidak diterima. Pantesan saja..," seru Samudji tiba-tiba. Dia ingin agar setidaknya rasa percaya diri kawannya itu tidak rontok.

"Apa Sam?... Apa penyebabnya?" Anas tidak sabar. Es kopi langsung habis setengah. Dia benar-benar kehausan.

"Itu..bisa jadi jam tangan Kau itu. Itulah penyebabnya."

"Apa yang salah dengan jam tanganku ini? Modelnya? Mereknya? Kau ini ada-ada saja..," ketus Anas.

Anas tidak begitu berani melabrak pernyataan Samudji. Dia menyadari kawannya itu berpengetahuan lebih luas. Dia harus mengalah. Mau mendengar. Walau tidak berhasil diterima kerja, setidaknya dia pulang membawa pengetahuan baru.

"Kau mengenakan jam di tangan kanan. Menurutku itulah sebabnya Kau tidak diterima," ujar Samudji memulai kupasannya.

"Kau tahu ini perusahaan asing. Perusahaan yang sangat memperhatikan hal-hal sepele semacam itu."

Anas mengernyitkan dahi. Apa salahnya menggunakan jam di tangan kanan. Dia sering melihat orang mengenakan jam di tangan kanan. Tidak ada yang salah dengan itu. Orang itu tetap selamat. Tidak celaka. Baik-baik saja.

Tetapi dia merasa perlu mendengar alasan kawannya itu. Lagi pula dia mengenakan di tangan kanan cuma ikut-ikutan saja. Terlihat lebih keren. Gagah. Tanpa alasan yang jelas.

"Ada alasan mengapa mengenakan jam lebih pas di tangan kiri. Memang tidak ada aturan baku. Semua dikembalikan kepada pemilik tangan dan pemilik jam. Asal tidak dikenakan di pergelangan kaki. Hehe..," canda serius Samudji dengan menaikan satu alisnya. Dengan harapan Anas kembali bersemangat.

"Kau bisa saja Sam.. Hayo teruskan..sudah siang ini..," Anas mengejar. Dia harus segera pulang untuk melaporkan kegagalannya pada sang ibu.

"Umumnya orang mengenakan jam, kalau dia kidal mesti dikenakan di kanan. Kalau bukan kidal, umumnya di kiri. Karena saat beraktivitas pergerakan tangan lebih leluasa tanpa adanya beban. Begitu bro."

"Hmm.. Ya..ya..ya..trus..trus.."

"Kemudian Kau bisa perhatikan jam itu sendiri. Seluruh jam tangan di muka bumi ini bolehlah Kau amati."

"Kalau diperhatikan, ini menurut Aku ya..semua jam itu dibuat untuk tangan kiri. Kau perhatikan penyetelnya. Pemutarnya yang kecil di sisi samping jam itu. Di posisi angka tiga. Semua jam aku rasa pemutarnya ada di posisi itu. Kau akan kesulitan mengaturnya kalau kau kenakan di tangan kanan."

Serta merta Anas mencoba menyetel jam tangannya tanpa melepas. Menguji lontaran kalimat Samudji.

"Ahh..iya.. Kau benar bro.. Agak susah menyetelnya," ujar Anas. Kalimatnya berlanjut, "Harus dilepas terlebih dahulu. Hmm..benar Kau.."

Samudji melanjutkan, "Kecuali Kau mampu membuat jam untuk tangan kanan, kemudian Kau kenakan saat tes wawancara tadi... Wah..kemungkinan besar Kau diterima bro... Hahahaha.."

Mereka berdua tergelak. Samudji berhasil menyemangati kawannya itu. Agar tidak larut dalam kegagalan sesaat.

Mereka pulang dengan senyum mengembang. Mata Anas siang itu mengamati setiap pegawai perusahaan asing itu. Semua mengenakan jam di tangan kiri. Hanya saat melintasi gerbang, dia menyaksikan satpam yang berbadan besar itu melempar senyum padanya.

"Satpam yang ramah, sayang jam Kau ada di kanan. Sama dengan Aku.. Hihihi..," gemericik tawa Anas menandai dirinya. **

Komentar

Postingan Populer