Cerpen | Soto yang Lezat dan Kedigdayaan Sesaat
"Ah.. Kau..rupanya datang juga. Ini, aku ambilkan kue kesukaan Kau..," Anas bersuka cita melihat Samudji hadir dalam acara selametan rumah barunya. Sodoran kue dan minuman ringan langsung disambet. Rupanya Samudji kelaparan.
"Syukurlah Kau datang bro. Ada yang ingin Aku tanyakan," ujar Anas sembari melumat penganan nogosari nan lembut itu. Ujarannya berlanjut, "Kemarin saat Aku mampir ke tokomu, ada beberapa orang aku lihat ngobrol serius denganmu. Tanganmu sampai menari-nari begitu. Orang yang aneh. Iya Aku pikir begitu. Bukankah mereka orang yang aneh?"
"Oh..itu..mereka kawan lamaku. Mereka cuma mampir. Yaah..biasalah menanyakan kabar. Sudah belasan tahun kami tidak bertemu," sahut Samudji seperti serius. Pandangannya terlempar ke lain arah. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia menerawang.
Tetapi kemudian pandangannya kembali menatap Anas, "Kau wajar menyebut mereka aneh. Sepintas memang aneh. Aku saja kadang berpikiran begitu..hahaha..Kau bisa saja bro..haha..," mereka tergelak bersahutan.
Merasa berdosa menertawakan dan membicarakan kawannya, Samudji kembali menatap Anas. Kali ini lebih serius. Dia menyorot jauh menembus ke dalam mata Anas. Anas merasa aneh.
"Hey..ada apa bro? Ada yang salah dengan Aku?..mengapa Aku merasa seperti bersalah?" Anas meyakinkan dirinya.
"Hahahaha..haa..," kembali Samudji tergelak. Tawanya berlanjut dengan kalimat, "Untunglah Kau mengingatkan bro..kalau tidak, Aku bisa terlihat aneh seperti mereka juga. Apakah Aku sekarang sudah terlihat aneh?" tanya Samudji pada Anas yang justeru merasa aneh. Mengapa kawannya itu bertanya seperti itu.
"Tidaklah bro.. Kau biasa saja. Tidak aneh bagiku." Anas merasa ada sesuatu yang perlu diselami dari bekas kawan SD-nya itu. Ada sesuatu yang mungkin dia bisa hirup sarinya. Dia merasa kawannya itu bagaikan harta karun yang penuh kejutan. Tak seorangpun mengetahuinya. Dia sering mensyukurinya.
"Coba Kau ceritakan, mengapa sampai mengira diri Kau aneh juga," ujar Anas sembari menyorongkan beberapa penganan nogosari dan teh kotak ke samping Samudji. Agar ceritanya menjadi licin lancar dan tidak dibuat-buat.
Samudji memperbaiki duduknya. Meleluasakan kaki-kaki. Menegakan tulang punggung. Memberi kesempatan aliran darah mengirimkan oksigen ke seluruh jaringan otak. Dia menghirup udara dalam-dalam. Memenuhi rongga dada. Kedua tangannya menyilang memeluk dada. Kelopak matanya setengah saja. Sampai saatnya datang, dia pun mengangguk-ngangguk.
Anas sabar memperhatikan sedari tadi. Kemudian dengan suara tenang terdengar seperti diberat-beratkan, Samudji memulai kisahnya.
"Ini pengalamanku belasan tahun silam. Kau ingat bulan lalu saat Kau menunjukkan Aku Soto Lamongan yang lezat dekat terminal itu?" tanya Samudji kepada Anas yang langsung terkaget karena belum apa-apa dia sudah ditanya.
Serta merta Anas mengangguk membenarkan. "Iya..iya..Aku ingat."
"Apa Kau mengajak Aku mencicipinya?"
"Hehe.. Tidak.. Saat itu hanya lewat saja. Saat itu khan sedang terburu-buru. Apa Kau mempermasalahkan itu?" Anas mengernyitkan dahi.
"Oh tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu. Tetapi apakah Kau tahu? Keesokan harinya Aku ke sana untuk mencicipinya sendiri. Dan perkataan Kau benar. Soto Lamongan itu benar-benar Lezat!"
Anas menggeleng. Dia merasa dipermainkan. Dia sudah berlagak serius sabar akan mendengarkan kisah kawannya itu bersama teman anehnya. "Eh mengapa malah membahas Soto Lamongan?" pikirannya bertanya-tanya.
"Iya..iya..baguslah Kau sudah mencicipinya. Tapi apa hubungannya dengan kisah yang akan Kau ceritakan?" sahut Anas terdengar seperti hampir menggerutu.
Kedua tangannya mulai menyilang memeluk dada. Kaki kanannya bergerak naik turun mirip kaki tukang jahit tahun dodol.
"Sabar bro..seperti itulah yang terjadi pada apa yang aku alami belasan tahun silam," Samudji seperti mengingat-ngingat sesuatu.
Tuturnya berlanjut, "Saat itu Aku dititipi membeli sebuah buku doa oleh Ibu. Di toko buku aku tertarik pada sebuah buku. Jadilah membeli dua buah buku. Dua buku yang senada. Satu buku untukku penulisnya orang asing. Seorang spiritualis."
"Habis aku baca, aku pikir isinya sungguh lezat. Selezat soto Lamongan yang Kau tunjuk itu. Apakah Aku cukup hanya membaca saja? Tidak! Aku cicipi Soto Lamongan itu. Aku lakoni isi buku itu! Berhari-hari bahkan berbulan-bulan," ujar Samudji lancar seperti teringat betul kejadian belasan tahun silam itu.
Anas mulai serius. Silangan tangannya terlepas. Nafasnya dibuat teratur. Dia tidak mau kehilangan satu katapun dari mulut kawannya itu.
"Bulan ketiga Aku sudah mulai merasakan lezatnya isi buku itu. Aku terapkan isinya. Tak Aku biarkan terlewat satu kata pun. Bahkan hingga titik dan komanya pun Aku perhatikan betul!"
"Kulit badanku mulai merasakan getaran-getaran. Kau tentu pernah merasakan gerayangan seekor semut, apa semut berekor? Ah sudahlah..," Samudji menghela nafas dua detik. Memberi kesempatan Anas melepas pulang tamu undangannya.
Anas tak sabar. Mata dan telinganya seperti menyatu. Tamu undangannya berseliweran pamit cuma disahuti dengan senyum dan kibasan tangan. Seorang tuan rumah yang kurang elok.
"Iyaa..ada apa dengan semut itu?" lanjut Anas seakan menolak adanya jeda iklan. Samudji menyapu pandang. Tamu-tamu sudah berkurang. Sudah agak reda. Dia bisa mengumbar cerita lebih leluasa.
"Oh.. Semut itu..iya..tentu Kau pernah merasakan seekor semut mondar-mandir di kulit badanmu. Nah mirip seperti itulah getaran yang aku rasakan. Tapi getaran itu terasa berkeliaran di bawah kulit. Awalnya muncul secara sporadis, secara berkala."
"Masuk bulan keempat, sepanjang hari getaran halus itu mondar mandir di sekujur badan tak putus-putus. Saat tidur saja Kau tidak merasakannya," panjang lebar Samudji mengurai masa itu. Anas masih tekun menyimak.
"Kelezatan buku itu bukan hanya sampai di sana. Aku juga mengalami beberapa kesan spiritual seperti yang tertulis. Boleh dikata Aku sempat merasa sakti kala itu. Merasa digdaya. Kau tahu digdaya?"
Anas bengong. Seperti tak percaya.
"Hey.. Kau tahu digdaya?" Samudji mengulang menyadarkan.
“Iya.. Iya.. Aku tahu. Pokoknya Aku tahu..hayo lanjut..penasaran benar Aku," Anas begitu antusias. Dia baru mengetahui kalau sebuah buku bisa memberi pengalaman hidup.
"Gara-gara buku itu, Aku pernah merasakan terbukanya mata ketiga. Tembus pandang. Bisa melihat kejadian yang tidak aku hadiri. Jelas dan tegas. Aku bisa menyimpulkan seperti itu, karena saat sedang berkendara Aku melihat dalam bayangan mataku ada truck besar berwarna kuning melintang di tengah jalan. Mengalami pecah ban."
"Dalam berkendara itu setelah melewati satu tikungan kira-kira 200 meter kemudian, apa yang Aku lihat sebelumnya dalam bayangan mataku, terjadi bro! Satu truck besar berwarna kuning melintang di tengah jalan. Ban kiri belakangnya terlepas. Bannya pecah!"
“Kejadian yang berselang beberapa menit sejak Aku melihat jelas di bayangan mataku. Bukankah itu hal yang luar biasa? Sulit dijelaskan. Tapi terjadi."
"Hal seperti itu aku alami cuma sekali. Karena Aku tidak keterusan mencicipi lezatnya soto itu. Aku hanya ingin membuktikan saja. Benar tidaknya apa yang tertulis."
"Baik.. Baik..trus apalagi yang Kau alami sesuai isi buku itu?" Anas menggali terus.
"Yah memang sesuai isi buku itu. Selain ketenangan, orang-orang yang melakoninya akan membawa hawa adem. Memancarkan energi positif. Dan yang paling seru sanggup merontokkan energi negatif. Meluruhkan benda-benda yang mengandung energi negatif."
Anas memotong, " Oh yang ini Aku ingat..saat awal-awal Kau buka toko itu ya..masih ingat Aku...hehehe..luar biasa ya..bro...bisa sampai rontok begitu...ada ada saja cara orang berbisnis.. Hehe.."
Anas perlahan mulai bisa mengerti. Dia masih ingat saat Samudji baru beberapa lama membuka toko. Dia menyaksikan sendiri. Pak Budi penjual nasi goreng di pinggir jalan besar itu, pernah mengalami kejadian yang lucu.
Sesaat setelah membayar pada Samudji, sebuah benda aneh seperti bungkusan kain putih berjarit tangan, jatuh ke lantai depan meja kasir. Entah jatuh dari mana. Yang jelas milik Pak Budi. Anas yang baru saja masuk toko segera memungutnya. Dan mengembalikan pada Pak Budi sang pemilik yang sudah ke luar pintu toko. Anas tahu bahwa itu semacam benda penglaris. Tentu berhawa negatif. Akhirnya dia paham mengapa sampai jatuh.
Pernah juga suatu ketika, dialami oleh seorang wanita muda nan cantik jelita. Di mata Anas memang seorang yang cantik. Hiasan wajah dan juga gaya berpakaiannya melebihi seorang pedangdut.
Seusai membayar pada Samudji, dua buntelan kain putih sebesar korek api terburai keluar dari dompetnya. Tergeletak bergaya di meja kasir. Anas menutup mulut menahan tawa. Sang jelita gelagapan salah tingkah di depan Samudji.
"Oh..ah..mahap Mas..koq dia mencelat ya..hadduhh..jadi malu..ihh..oh..piye iki..," komat kamit sang jelita saat itu. Kemudian ngeloyor pergi setelah meraup sang buntelan. Dipastikan dia sudah menyiapkan kalimat komplin buat sang dukun.
"Kau lihat kawan-kawanku yang Kau sebut aneh itu?" Samudji melanjutkan tuturnya setelah dua nogosari lenyap berpindah ke lambungnya.
"Oh Iya..benar..hampir lupa Aku.. bagaimana dengan kawan aneh mu itu? Mengapa dia datang menemuimu? Bukannya Kau sudah tidak melakukan isi buku itu?" Anas seperti ingin menggali lebih dalam lagi.
"Aku mencicipi Soto Lamongan itu cuma sekali. Karena ingin membuktikan perkataanmu kalau Soto itu lezat. Nah kalau kawan-kawanku itu, mereka setiap hari mencicipinya. Bahkan mereka menjadikan bagian hidupnya."
Anas masih kuat menyimak. Dia sudah bisa memetik beberapa kalimat tebal dari cerita kawannya itu.
"Padahal jenis makanan lain ada banyak. Sialnya mereka itu bukan cuma mencicipi saja. Tapi menjualnya pula. Bahkan ditambahkan dengan bumbu-bumbu lain. Rasanya jadi amburadul. Tidak karuan. Aku sama sekali tidak menyukai rasanya. Jelek."
"Nah saat Kau lihat mereka kemarin itu, Aku sedang dirayu agar mengikuti mereka. Ya sudah Aku tolak halus. Aku tidak bisa. Aku sedang menghidupi anak isteri. Tak ada waktu untuk itu."
"Semua ada masanya. Segala sesuatu bergerak. Tak satupun tinggal diam. Digdaya itu? Hanyalah sesuatu hal kecil yang tersedia di alam semesta ini yang tidak kita ketahui." Samudji menutup kalimatnya sambil meringis memberi tanda memerlukan kamar kecil.
Anas mangut-mangut. Sekeliling sudah sepi. Tidak terlihat lagi tamu undangan. Matahari sudah tinggi.
"Oleh karena tidak tahu kemudian menjadi tahu dan mengalaminya, sebagian orang menyebut sebagai digdaya...hmm kesimpulan yang sumringah..," gumam Anas dengan air muka cerah.
Sementara Samudji ngeloyor ke halaman belakang rumah baru kawannya itu. Mengeluarkan residu metabolisme badannya yang merupakan kedigdayaan sesaat.
Kedigdayaan yang tanpa disadari sudah diketahui dan dirasakan seluruh mahluk sejak hadir di alam ini. **

Komentar