Humor~Murdok Meniru
Murdok terbilang orang yang cepat belajar. Apa-apa saja diikuti, dipelajari, cenderung seperti meniru. Terutama hal-hal yang baik, menarik, dan benar. Lebih sering berasal dari berita-berita yang tersebar di media sosial, selalu cepat diterapkan dalam hidupnya.
"Sebagai manusia masa kini, kita harus senantiasa mengikuti perkembangan," demikian kalimat yang sering diucapkannya dengan bangga. Ketika misalnya ada kawan yang menanyakan, "Hei..ada apa Kau ini..?"
Ada berita memakai masker, langsung diikuti. Menjaga diri dan orang lain adalah hal penting. Dia bangga dengan pemerintah. Khususnya Jokowi. Bagaimana tidak, beliau sendiri yang mengatakan itu. Ini bukan tentang masker. Dia sudah paham. Penyebaran virus harus diantisipasi dengan mengenakan masker.
Namun yang membuatnya bangga adalah, seorang presiden yang langsung memberitahu untuk menjaga diri dan juga orang lain. Hal yang tidak mungkin didengar lagi dari orang sekitarnya. Apalagi dari istrinya sendiri. Mustahil.
Kalau presiden mengucapkan itu oleh karena alasan mati, "Bukankah semua orang akan mati?" pikirnya berlogika. Bahkan logikanya ditumpuk lagi dengan yang lebih berat, "Tidak nyaman lho hidup terus. Apalagi kawan-kawan sejawat sudah pada mati."
Mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir juga diterapkan. Menjaga jarak apalagi. Sangat diperhatikan. Kalau ada orang mendekat dengan tidak sengaja, sekilat dia menghindar. Ketika orang yang mendekat itu kaget dan menolehnya, Murdok langsung mengarahkan tangan dengan telunjuk ke atas sambil digoyangkan ke kiri dan ke kanan. Mirip gaya telunjuk Presiden Trump ketika berpidato cuman perlu tambahan goyang saja.
Ketika memesan semangkuk bakso, dia juga meniru dengan baik cara berbicara. Bak bicara para intelektual kaum mahir dan berilmu pada acara-acara dialog di televisi.
"Bang, tolong bakso seporsi. Jangan pakai telur ya, itu satu. Yang kedua, jangan pakai saos. Kecap saja. Secukupnya ya. Yang ketiga, jangan pedas. Ingat jangan pedas. Nah yang kelima jangan pakai kol. Ingat kol..jangan pakai itu..ya."
Tukang bakso merasa takjub. Seumur-umur baru kali ini mendengar pesanan berkelas. "Mungkin bapak ini pernah diundang Bang Karni," selinap pikirnya.
Namun tukang bakso tidak perlu lama terpana. Pesanan sang 'intelektual' Murdok langsung disahut, "Yang keempatnya apa Pak? Yang keempat belum disebut."
"Oh ya? Oh bolehlah yang keempat itu dibungkus saja ya..," sahut Murdok ringan.
Merasa keintelektualannya sedikit cacat karena yang keempat terlewati, Murdok menambahkan ucapannya.
"Biasalah itu Bang, orang pintar-pintar di tivi juga sering seperti itu. Bahkan baru yang kesatu, eh tiba-tiba sudah yang ketiga. Ada juga yang bilang 'itu kesatu','itu kesatu' terus...bilang 'itu kesatu' padahal orang pinter lho Bang..," ujar Murdok menatap tajam tukang bakso.
Tukang bakso hanya menyahut dengan sekali anggukan yang dalam dan senyum takluk. Tangannya sigap menyiapkan pesanan. Dia rupanya tidak berminat masuk lebih dalam ke suasana 'intelektual' Murdok. Khawatir malah jadi runyam dan berujung batal membeli.
Sejurus kemudian pesanan selesai. Semangkuk bakso panas dan seporsi bakso yang sudah dibungkus. Segera dihidangkan di hadapan sang 'intelektual' Murdok.
Murdok tertegun. Giginya digemertakkan kuat dan berulang kali. Seperti sedang memotong angin. Kedua porsi bakso beda bentuk, dipelototi bergantian.
Kemudian, "Apa ini? Mengapa jadi dua? Saya khan pesan satu. Itu kesatu. Yang kedua, uang saya pas-pasan. Yang ketiga saya sudah lapaarr."
Akhirnya Murdok hanya membayar yang dibungkus. Kemudian berlalu membawa gerutuan.
Tukang bakso terpana lagi. Kepalanya sontak merunut tahap demi tahap pesanan sang intelektual.
"Ah..pusing..orang pintar itu bikin pusing saja.."
****

Komentar