Cerpen~ Kalimat Bijak dan Tempe Bacem


"Dunia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, namun dunia terlalu kecil untuk bisa memenuhi kerakusan manusia."

Sebuah kalimat bijak dari Mahatma Gandhi. Tertulis jelas di sobekan kertas majalah. Bekas bungkus belanjaan Emak. Tergeletak begitu saja di meja makan.

Mata elang Murdaka menangkap erat tulisan itu dan membacanya. Anak kelas satu sekolah menengah pertama itu tertegun. Dia terhenyak dengan maknanya. Tiba-tiba saja dia merasa menjadi seorang raksasa. Besar, beringas dan rakus.

"Mengapa aku membacanya setelah menelannya habis?" pikir Murdaka sambil melirik mangkuk kosong tempat tempe bacem.

Pagi itu saat sarapan, tempe bacem yang tinggal dua potong, dia sikat habis. Padahal dua adiknya belum sarapan. Hatinya bergetar tersenggol kalimat bijak tersebut. Seketika pikirannya bekerja. Nuraninya masih terbilang bagus.

Lemari kayu tua di dapur diubek-ubek. Dua laci dan empat daun lemari dibuka bergantian. Ditelisik cermat-cermat. Tangannya meraba-raba di sepanjang bibir lemari bagian atas. Tidak ditemukan apa yang dicari.

"Emak selalu menyisihkannya...emak tahu aku rakus...," gumamnya dengan hati berdebar dan risau. Tiba-tiba saja dia ingin dua adiknya harus turut merasakan nikmatnya tempe bacem.

"Memang aku lahir duluan. Tapi mereka juga suka tempe bacem...kalau mereka lahir duluan dan rakus juga..matilah aku..," pikiran lurusnya menyeruak.

"Hei..Mur..lagi ngapain? Cari apa? Lemari digeledah..salah apa dia? Salah apa lemari itu?" omelan Emak tak dihirau. Malah disahut dengan pertanyaan.

"Mana tempe itu Mak..mana tempe bacem itu?"

"Oh tempe bacem itu?... Semua sudah Emak taruh di meja. Kau habiskan lagi ya?" sahut Emak menebak dengan tepat.

"Apa masih kurang Mur? Adik-adikmu khan belum sarapan dan.."

"Iya Mak..aku tahu. Biasanya Emak menyisakannya. Menyembunyikannya. Makanya aku cari," belum selesai kalimat Emaknya, sudah dipotong begitu saja.

Emak hanya mangut-mangut. Kemudian, "Mana kertas bekas di meja ini? Tadi Emak lupa membersihkan."

"Sudah Mak..sudah Mur simpan. Itu kertas bagus."

"Bagus bagaimana maksudmu?"

"Pokoknya baguslah Mak. Biarlah Mur simpan saja tak perlu dibuang."

"Apa kau sudah membacanya?"

Mur langsung menoleh Emaknya. Seakan Emaknya tahu apa yang sudah dia baca.

"Emak juga membacanya?" tanya Mur mengejar. Dia tidak ingin ada yang mengetahui kalau dia akan berubah.

"Iya..Emak juga membacanya. Dan Emak membacanya semua. Bolak-balik. Apakah kau juga membacanya semua?"

"Bolak-balik? Maksud Emak berulang kali?"

"Bukan. Dibalik kertas itu juga ada tulisan bagus. Cobalah kau baca juga."

Mendengar ucapan Emak, Murdaka langsung mengeluarkan kertas lecek itu dari saku celananya. Di balik kertas kalimat bijak tertera sederet tulisan tangan. Dibuat bergaya lucu. Ada gambar jantung juga. Seperti tulisan tangan adik-adiknya.

"Selamat Ulang Tahun Kakak Mur..Kita semua sayang Kakak."

Murdaka sontak kaget. Tak dinyana hari itu adalah hari ulang tahunnya. Matanya berkaca-kaca menyaksikan kedua adiknya langsung masuk ruang dapur sambil membawa kue ulang tahun mungil. Mereka riang gembira menyanyikan lagu legenda itu.

"Tiup Kaak..tiup lilinnya..," ujar adik bungsunya yang masih kelas dua sekolah dasar.

Emaknya berbahagia merasakan suasana pagi itu. Berasa ada hasil dalam mendidik anak. Tak disadari kedua bola matanya basah berkaca-kaca. Dengan sorot mata lelah memandangi photo hitam putih mendiang suami di dinding ruang tengah.

"Tenanglah kau di sana Paak, sejauh ini aku sudah berhasil," ucapnya lirih.

~selesai~

Komentar

Postingan Populer