humor~Gagal Indra


Sudah setahun lebih pandemi bertamu. Rasuli masih menyimpan rasa was-was. Tamu yang ganas. Tidak terlihat. Tapi sanggup membunuh. Bagaimana tidak, seorang kawannya sudah menjadi korban. 

Beruntung Rasuli masih selamat. Masih hidup. Masih membekas dalam ingatan, bagaimana ia bercakap-cakap dengan kawannya itu beberapa waktu sebelum diboyong ke rumah sakit.

Sepulang dari bercakap-cakap itu, beberapa hari kemudian, ia sempat merasakan gejala yang umum terjadi. Tenggorokannya sakit. Badannya demam satu dua hari. Penciumannya lenyap.

Urusan penciuman, ia sempat merasakan senang beberapa saat. Namun kembali sadar untuk was-was kembali. Lebih baik mencium bau badan yang aduhai daripada cepat menyusul sang kawan. Demikian pikirannya menampar. 

Hal ini membuat Samudji, bekas kawan sebangku semasa SD, antusias menyambutnya. Ketika tepat dua minggu masa isolasi, Rasuli berani keluar rumah.

"Bagaimana bro? Kondisimu? Apa sudah sehat? Apa sudah kembali lagi bau badan kau itu?" tanya Samudji menyambut dengan salam tendang.

Mereka sepakat bila berjumpa mengunakan salam tendang. Bukan siku atau tinju. Lebih aman karena paling jauh dari mata, hidung, dan mulut. Walau ada mata kaki, beruntung mereka belum menyadarinya.

Rasuli yang ditanya tidak segera menyahut. Malah menatap dalam-dalam ke arah Samudji. Dan balik bertanya.

"Siapa Kau?" 

"Aku bro.. Aku Sam.. Samudji..becanda Kau..lupa Kau?" 

"Suaramu lain. Kawanku Samudji suaranya lain. Suaranya lebih bagus. Lebih merdu. Kau tahu Bob Tutupoly? Penyanyi idolanya si Samudji itu? Seperti Bob Tutupoly itulah suaranya. Nah Kau.. Suara kau jelek. Tak bernada. Hambar. Merusak telingaku," lanjut Rasuli sambil melengos. Kemudian kalimatnya berlanjut. 

"Tampangmu juga lain. Samudji lebih gagah. Berkumis. Lebih berwibawa. Kau jelek. Merusak pemandangan."

Samudji sontak mundur selangkah. Membuat jarak. Dia merasakan ada yang tidak beres. Pikirannya menangkap indra lain dari kawannya masih sakit.

Kepalanya mengoreksi semua berita tentang gejala apabila terpapar virus pandemi. Dia hanya ingat indra penciuman. Pikirannya melebar ke indra pengecap rasa. Tidak sekalipun dalam ingatannya, pernah mendengar ada gangguan pada indra pendengaran dan pengelihatan.

Samudji tidak mau ambil resiko. Bisa saja kawannya itu masih sakit. Belum sehat. Boleh jadi ini temuan baru dan gejala baru.

Dan yang lebih menohok, dia tidak terima dibilang bersuara dan bertampang jelek. Lebih-lebih dia mengidolakan Broery Pesolima daripada Bob Tutupoly.

"Sungguh naas Kau Sul," pikir Samudji seketika. 

Daripada ribut dan terpapar virus, Samudji segera meninggalkan sang kawan yang terus saja menyembur. Rasa was-was dan kasihan segera menyelimutinya.

Selang seminggu kemudian, Samudji mendengar berita. Rasuli masuk rumah sakit. Kabar beredar Rasuli terpapar virus. Tetapi Mukhson, seorang karibnya yang lain menyangkal.

"Giginya rontok! Kau jangan percaya dia kena virus. Dia terlalu polos untuk berbohong. Dia ditagih utang. Tapi malah bergaya tidak kenal. Parahnya si tukang tagih yang tinggi besar itu malah diolok-olok. Ya sudah kena bogemlah dia..."

"Oh ya?" sahut Samudji polos. Tiba-tiba teringat ada piutangnya pada Rasuli yang sudah mengendap berbulan-bulan. (*) 

Komentar

Postingan Populer