Humaniora | Cerita di Cerah Minggu Pagi dalam Kabut Pikiran Manusia
Minggu pagi yang cerah. Sambil ngudap dengan sisa lauk kemarin yang dihangatkan, televisi bersiar bersama seorang pedagang. Iya, terdengar seperti pedagang. Karena setelah beberapa saat bisa ditebak dia sedang menjual sesuatu.
Kelar ngudap, saya pantengin itu tivi. Sebelumnya sang host membuka dengan sebuah pertanyaan tentang resesi ekonomi global satu dua tahun ke depan.
Antusias sang pedagang mengurai bak ahli global. Dia menyebut persaingan Airbus dan Boeing bisa menjadi sebabnya. Saya rasa sah-sah saja. Boleh-boleh saja. Karena acara tersebut tetap menyala. Tidak tiba-tiba iklan atau mati.
Masuk ke inti siar, ternyata dia berdagang software. Perangkat lunak. Sebuah program yang sanggup memberi penghasilan yang mengagumkan. Bahkan dalam dollar Amerika!
'Passive income' begitu dia menyebutnya. Programnya itu sanggup menghasilkan tiga hal. Yakni profit, profit dan profit. Untung, untung dan untung. Bahkan saat sedang tidurpun tiga hal itu tetap hadir. Jelas bukan dalam mimpi.
Hanya dengan membayar sejumlah uang seharga program itu, keuntungan bisa segera diraih. Program itu sendiri yang akan bekerja menghasilkan keuntungan dari perdagangan valuta asing.
Untuk meyakinkan dagangannya dia juga menghadirkan rekaman video orang-orang yang sudah berhasil. Bahkan ada yang terbilang gagap teknologi, sudah memetik hasil. Tentu dengan kesumringahan senyum.
Sampai di sini pikiran saya mulai tergelitik. Hebat. Luar biasa. Tetapi mengapa dia menjualnya? Mengapa dia membeberkannya?
Ini sungguh bertolak belakang dengan apa yang ditonton anak saya beberapa saat setelah acara itu. Jelas saya mendengar Tuan Krabs mati-matian menjaga ramuan rahasia Krabby Patty-nya dari rasa keingintahuan Plankton.
Kalau saja dia mempunyai ramuan mujarab untuk rasa gatal di kulit dan menjualnya, tentu saya masih bisa memahami. Oleh karena kemujaraban itu, rasa gatal enggan datang. Tetapi ini uang. Dollar pula.
Teringat juga akan ucapan Pakde Samudji pada relasinya yang begitu suka berburu benda-benda klenik. Penglaris untuk usahanya. Suatu ketika dia sempat berkata, "Kau kalah cerdas dengan si dukun itu. Kalau benda itu sanggup membuat Kau kaya, mengapa dijual? Mengapa tidak dia pakai sendiri? Kau sibuk membeli ambisi sendiri yang seharusnya bisa Kau manfaatkan dalam bentuk lain."
Minggu pagi yang cerah itu bertambah cerah saat membuka media Youtube. Sebuah video amatir membagi banjir Jakarta. Ada satu komentar yang membangkitkan selera. "Jangan lagilah menjelek-jelekkan Anies. Saya sudah capek nge-like."
Nah lo..
**

Komentar