Cerpen | Martabak Oh Martabak

"Uh..kota yang sungguh besar. Benar-benar padat dan bising," ucap Raji dalam hati. Sudah hampir seminggu dia menjejakkan kaki di kota Bandung. Tak jemu juga dia mengucap kata itu. Lebih-lebih saat dia menyaksikan mobil dan motor memenuhi jalanan dan kuat diam tak bergerak berlama-lama.

Telaten dia menyusuri trotoar jalan raya Kopo yang seakan tak berujung itu. Tatapannya menyapu sepanjang pinggiran jalan. Mata dan pikirannya sepakat mencari bakul gerobak penjual martabak.

Sudah ratusan meter dia keluar dari perumahan Kopo Indah, belum juga dia temui ada penjual martabak yang buka. Sudah dua bakul gerobak martabak dia lewati dan juga dia amati. Semuanya belum buka. Kepalanya terlihat menggeleng.

Namun dia tidak menyerah. Kakinya tetap melangkah. Dari kejauhan tepat di pelataran parkir sebuah area pertokoan, dia melihat sebuah gerobak besar penjual martabak. Walau masih tutup, dia tetap bergegas mendekat. Dari jarak beberapa langkah dia mengamati tulisan di kaca gerobak.

"Yaah...tidak ada...adanya cuma martabak asin dan martabak manis..," desisnya dalam hati. Raut wajahnya seperti sedikit kecewa.

Kakinya masih kuat berjalan. Perburuan berlanjut. "Cobalah cari lagi satu...barangkali ada. Kalau juga tidak ada.. Yah..tidak apa-apalah martabak juga enak," pikirnya sambil melanjutkan menyusuri trotoar.

Bisa ditebak. Sudah lebih dari satu kilometer berjalan, Raji mendapati bakul gerobak martabak keempatnya, juga tidak menjual yang dia cari. Yang begitu dia hasratkan sejak sehari sebelumnya.

Hari sudah sore. Sudah hampir jam lima. Sebentar lagi tentu bakul gerobak martabak itu buka. "Biarlah kali ini martabak saja..tidak mengapa..," gumamnya mencoba menenangkan buncahan hasrat yang meluap akan lezatnya terang bulan.

"Mengapa di kota sebegini besar tidak ada yang menjual terang bulan ya..aneh..," celetuknya dalam hati.

Di Malang kota asalnya, kota yang terbilang lebih kecil dari kota Bandung, bertebaran penjual martabak yang sekaligus menjual terang bulan. Dia sungguh tidak habis pikir akan hal itu. Bagaimana mungkin penganan senikmat itu tidak ada yang menjual di kota semegah itu.

"Sungguh disayangkan wahai engkau orang-orang Bandung. Tidak pernah merasakan lezat legit nikmatnya terang bulan itu. Apalagi kalau dinikmati selagi panas. Dan akulah yang sungguh beruntung pernah menikmatinya," cibirnya bersamaan saat matanya menyapu raut wajah lelah orang-orang yang lalu lalang sore itu.

Di tengah hiruk pikuk kemacetan jalanan, Raji berbalik arah. Tentu nanti sudah ada yang buka. Rupanya sore itu dia harus merasa cukup puas hanya dengan martabak.

Tepat di gerobak bakul martabak kedua, sudah terlihat dua orang penjual datang. Bersepeda motor. Raji tidak mau menunggu lama. Dia langsung memesan. Namun sebelumnya dia menanyakan terang bulan yang sangat ia idamkan itu.

"Pak..ada terang bulan ya?" tanya Raji penuh harap.

“Apa itu terang bulan? Tidak tahu saya.. Adanya martabak, pisang goreng, molen.. Ya..itu pak seperti yang tertulis di kaca itu," sahut pemuda penjual sambil menunjuk ke arah kaca gerobak.

" Ya sudah.. Pak..saya pesan martabak saja. Dibungkus satu ya yang biasa saja..."

"Asin apa manis..?" tanya pemuda penjual itu.

Baru kali ini Raji membeli martabak ditanya seperti itu. Dia merasa aneh. "Martabak manis? Apa isi gula? Isi coklat? Isi susu? Isi sirup? Ah aneh ini..," pikirannya bergolak. "Ada-ada saja orang Bandung ini..," gumamnya sambil melirik sang penjual naik turun.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana martabak manis itu. Dia tidak mau ambil resiko. Uangnya pas-pasan. Cukup hanya untuk satu bungkus saja. Dari pada tidak bisa ditelan, lebih baik dia membeli yang sudah diketahui saja. Yang asin tentu seperti yang sering dia lahap di Malang.

"Itu lho pak yang isi daun bawang dan daging itu...," sahut Raji memastikan.

"Oh itu yang asin pak. Baik pak ditunggu ya..," kata pemuda penjual.

Lelah yang sangat menggelayutinya sore itu. Jalan kaki yang sedemikian jauh membuatnya lunglai di emperan toko. Selang beberapa lama, pesanan martabak sudah jadi.  Selesai membayar dengan uang pas, ya karena uangnya memang itu saja, sekelebat matanya menyapu teman pemuda penjual sedang menata cetakan terang bulan. Matanya terbelalak. Serta merta dia berseru, "Pak bukankah itu cetakan untuk terang bulan?"
“Bukan Pak.. Ini cetakkan untuk martabak manis," sahut pemuda itu.

"Waduh...salah beli saya pak.. Saya ingin yang itu..boleh ganti Pak?" terdengar seperti suara memohon.

Pemuda penjual tersenyum seraya menyahut, "Ada ada saja bapak ini. Ya tidak bisalah pak. Kecuali bapak beli lagi.."

Kesal bercampur runyam suasana hati Raji sore itu. Sungguh unik jalan pelajaran yang dia terima. Langkahnya cepat menyusuri trotoar kembali ke rumah kos.

Rupanya benar cibiran Raji, martabak manis memanglah lezat, legit dan nikmat adanya. Terbukti saat dia melewati bakul gerobak martabak pertama yang dia lihat sebelumnya. Di sana berderet orang-orang Bandung antri membeli martabak manis. Melihat itu, Raji pun tersenyum kecut. **

Ini sebuah pengalaman yang diceritakan kembali. Terjadi akhir abad silam.

Komentar

Postingan Populer