Cerpen | Jas Merah, Sambaran Mata Gerinda dan Sabarnya Luka
Minggu pagi menjelang siang di halaman rumah di bawah rindang pohon jambu klutuk.
"Ji..... Saam...sini kau... mengapa spionnya kau lepas?" teriak sang ayah sembari mengamati sepeda motor bebek baru yang belum genap sebulan.
Samudji remaja sekolah menengah atas itu, segera muncul dari bilik kamar. Merasa bersalah, tak sepatah kata sanggup dia ucapkan. Hanya berdiri menunduk sambil menghitung jari kaki yang saling bermusuhan.
Kala itu akhir abad 20. Remaja kota memang suka mempreteli motor. Paling ringan ya hanya sekedar lepas spion. Atau melepas bebeknya. Yang lebih bersemangat bisa sampai mencomot kaca lampu, mengganti shockbreaker hingga mengubah warna suara knalpot. Tak jarang pula ada yang lebih ekstrim. Hingga kalau terlihat melintas di jalan besar, sudah tidak bisa dikenali lagi sebagai motor bebek. Lebih menyerupai sepeda dayung yang dijejali mesin motor. Menyedihkan.
Namun mungkin itulah rupa dari ekspresi diri remaja era itu. Kreativitas dan jiwa berontak. Namun tentu saja medianya kurang pas. Seandainya saja medianya berupa ubi jalar, tentu hasilnya akan lain.
Minggu siang itu, Samudji remaja, seperti tersedak. Teriakan ayahnya seperti menjegal naluri kreativitasnya.
Kalimat ayahnya berlanjut dengan nada tinggi yang semakin berat, "Kau tahu? Sepeda motor ini dibuat oleh puluhan insinyur. Belasan disiplin ilmu. Mekaniknya orang-orang terpilih. Handal. Semua orang-orangnya itu sudah tamat sekolah. Sementara kau? Sekolah saja masih ngos-ngosan. Sudah berani melepas hasil pekerjaan insinyur! Cepaat pasang lagi itu spion...! Itu benda penting untuk keamanan berkendara. Tahu apa kau hah?"
Tanpa pikir panjang, Samudji muda berlari masuk kamar meraih spion yang tergeletak di bawah dipan. Dengan cekatan segera memasangnya kembali.
* * * *
Waktu berlalu begitu cepat. Samudji masih bujang, ucapan ayahnya masih dipegang kuat. Apalagi saat itu baru saja menamatkan sekolah tinggi. Tentunya tidak elok sembarangan bergerak-gerik.
Semasih bujang itu dia sempat membuka usaha bengkel sepeda motor. Dalam menggunakan mesin gerinda unit genggam, dia masih mengikuti aturan manualnya. Tentu seperti ucapan sang ayah. Mesin itupun dia sadari dirancang oleh sedemikian banyak insinyur. Juga setumpuk disiplin ilmu. Masa bujang yang aman dan selamat dia lalui.
Sampai pada suatu ketika, saat seorang tukang las bekerja memperbaiki pagar rumah. Dia menyaksikan si tukang las menggunakan mesin gerinda secara terbalik. Yang seharusnya mata gerinda ada di sisi kiri unit mesin. Si tukang las memutar balik cara menggunakannya menjadi di sisi kanan mesin.
Menyadari hal itu adalah sesuatu yang salah dan tidak sesuai petunjuk manual, Samudji langsung menanyakannya.
Saat itu dengan ringan si tukang las menyahut, "Saya sudah bertahun-tahun mengerjakannya seperti ini. Tidak pernah terjadi masalah. Bahkan lebih nyaman. Ampas potongan dan percikan api terhempas ke arah depan. Tidak mengenai kita. Garis potongpun bisa terlihat jelas."
Saat itu Samudji tidak yakin untuk terlalu ngotot. Apalagi si tukang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Kalaupun dia akan ngotot menceramahi seperti yang dilakukan ayahnya dulu, tentu akhirnya akan terjadi perang mulut. Suasana kerja menjadi runyam. Dan pagar rumah tidak selesai. Samudji cukup bisa menahan diri. Dia merasa nyaman sudah menyampaikan yang menjadi keyakinannya.
Namun setelah kejadian itu, saat dia sendiri bekerja dan menggunakan mesin gerinda, pikirannya mulai tergelitik.
"Tak ada salahnya mencoba. Kadang-kadang pengalaman lebih terbukti daripada hanya sekedar teori. Aku tidak yakin insinyur-insinyur itu berpengalaman memotong besi bertahun-tahun" demikian pikirannya menganggu gugat.
Serta merta saat itu, mesin gerinda dibalik. Dia kerjakan persis seperti cara kerja si tukang las. Dia mulai nyaman. Pekerjaan lancar dan tuntas. Benar ucapan si tukang las. Garis potong terlihat jelas serta ampas potong dan percikan api mengarah ke depan. Hingga pelindung ampaspun dilepas karena sudah tidak diperlukan.
Hari-hari berikutnya dalam menggunakan mesin gerinda unit genggam itu, Samudji sudah merasa nyaman dengan cara yang melawan petunjuk manual itu. Dan lambat laun mulai melupakan prinsip-prinsip bangku sekolah.
Tersambar Mata Gerinda
Dua puluh lima tahun kemudian rupanya sejarah berulang. Benar ucapan Bung Karno, Jas Merah. Jangan sekali kali meninggalkan sejarah.
Samudji mungkin sudah melupakan itu. Meninggalkan kenangan masa remajanya itu. Juga melupakan ucapan-ucapan mendiang ayahnya.
Pagi saat akan berangkat kerja, sapuan mata Samudji tertuju pada meja kayu yang dibeli dari bekas bongkaran hotel. Meja yang bagus. Bermotif unik. Namun tidak berkaki. Sudah hampir setahun meja itu menjadi balai mungil. Dipakai tempat duduk oleh ketiga anak-anaknya yang juga masih kecil-kecil.
"Besok akan aku bikinkan kau kaki. Mumpung ada papan kayu yang bagus," gumamnya seperti berkata pada sang meja. Meja diam saja. Seperti sudah mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.
Keesokan harinya, selasa sore, Samudji sudah siap dengan gerindanya. Pengalamannya sudah mumpuni dalam potong memotong menggunakan mesin itu. Mata gerinda kayu yang paling tajam sudah dibeli saat pulang dari warung.
Ukuran sudah dipetakan. Papan kayu yang tebal dan terlihat tua. Entah kayu apa yang jelas berat dan solid. Bekas kepala dipan jaman dulu. Dan mulailah dia memotong.
Usia Samudji sudah memasuki kepala empat. Genggaman pada unit mesin gerinda dimaksimalkan. Posisi jongkok. Cara memotongpun mengikuti cara si tukang las yang sudah terbukti ampuh itu.
Sudah beberapa sentimeter terlihat terpotong. Mungkin lengannya merasa lelah, tiba-tiba terjadi begitu cepat. Sangat cepat. Unit mesin gerinda itu terlepas dari genggaman. Meluncur kencang dan brutal ke arah belakang Samudji yang sedang jongkok. Mesin gerinda itu melintasi selangkangannya.
Dua detik berlalu, Samudji masih dalam posisi jongkok. Pikirannya kalang kabut. Mesin gerinda meraung-raung di belakangnya.
Perlahan dia berdiri. Di tengah raungan mesin gerinda, pikirannya cuma satu, "Kena apa tidak." Dia sama sekali tidak merasakan sakit. Dalam posisi berdiri dia cepat menoleh seluruh jari kakinya yang langsung dia gerakan. Semuanya bergerak. Aman. Dia takut kalau ada saraf yang putus.
Samudji perlahan membalikkan badan kemudian mencabut kontak kabel mesin gerinda. Saat itulah dia terhenyak. Darah mengucur deras dari balik celana jeans pendeknya. Menyusuri kaki kanannya.
Dirasa-rasakan bagian pantatnya. Tidak dirasa sakit. Tiba-tiba kerisauannya yang super dahsyat menuju pada alat vitalnya. Serta merta digerak-gerakan seperti menahan kencing. Juga mulus. Tidak dirasa sakit. Alat vitalnya juga dia rasakan bisa digerakan dan tidak sakit.
"Mudahan-mudahan hanya kulit luarnya saja yang kena," pikirannya berusaha membesarkan hati.
Ibu dan anak sulungnya histeris. Ya tentu karena melihat darah yang terus mengalir. Samudji terlihat tetap tenang. Malah dia meyakinkan sang ibu, "Tidak apa-apa bu.. Mudji tidak merasakan sakit. Cuma sedikit perih. Mungkin cuma tergores saja."
Mengira Tergores Akhirnya Operasi
Di dalam kamar mandi, Samudji melepas celana pendeknya. Tak dinyana tak disangka. Celananya robek sejengkal ibu jari ke telunjuk. Tepat beberapa senti di bagian belakang dengan melintas satu dua senti ke arah depan.
Dia tidak bisa melihat lukanya. Jelas sudah terlihat seberapa panjang lukanya. Namun dia masih membesarkan hati. Pikirannya masih bertahan cuma tergores saja. Walau panjangnya yang sejengkal itu.
"Ah tidak parah. Lha wong tidak merasakan sakit. Hanya perih saja. Ini jelas hanya tergores," pikirannya berputar-putar seputaran itu saja.
Dia tidak memikirkan seberapa dalam mata gerinda menyambar pantatnya.
Samudji sempat menelepon sang istri yang sedang di warung. Mengabarkan kenaasan petang itu. Saran dari istri agar segera ke UGD, diabaikan.
Luka yang tidak terlihat itu, dia bersihkan sendiri dengan air steril rivanol. Darah sudah berhenti mengucur. Tiga empat kali perban tisu diganti, sudah tidak ada darah. Juga tidak merasakan perih yang sangat.
Malamnya Samudji memaksakan diri berangkat ke warung bersepeda motor. Tentunya dengan posisi duduk yang miring ke kanan. Tumpuan duduk total pada pantat kiri.
Istrinya terkejut melihat kedatangannya. Dasar Samudji berkepala keras, istrinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin melihat langsung luka itu, Samudji melarangnya.
"Tunggu kering dan sembuh saja. Hanya tergores," demikian sahutnya.
Keesokan harinya, hari Rabu sore, Samudji melanjutkan pemotongan papan kayu yang tertunda sehari sebelumnya. Kali ini dia menggunakan gergaji manual.
Sang ibu yang menyaksikan hanya bisa menahan nafas. Melihat anaknya yang keras kepala itu menggergaji kayu dengan rikuh. Seperti orang pincang.
Dalam hitungan jam, kaki meja itu sudah terpasang. Kemauan dan niat yang kuat terbukti tidak ada yang sanggup menghalangi. Bahkan tersambar gerindapun bukan menjadi halangan berarti.
Hari-hari dilalui mulus dengan langkah kaki bak orang pincang. Tiap-tiap dua atau tiga jam, perban tisu berivanol dia ganti sendiri. Tanpa melihatnya. Merabanyapun dia tak berani. Walau dia yakin cuma tergores.
Tinus anak Manggarai, penjaga toko sebelah warung, merasa prihatin melihat Samudji yang berjalan seperti orang pincang. Melayani pembeli sendiri dengan sesekali mengangkat beban berat.
Sabtu siang itu Tinus mendatangi Samudji di warung.
"Pak..ini saya punya obat merah bagus. Buatan China. Kami kalau terluka selalu memakai ini. Lukanya jadi cepat kering. Ini pak pakai saja..," ujar Tinus sambil menyodorkan sebotol obat merah. Bertuliskan huruf china.
Malam harinya setelah warung tutup, di dalam warung, Samudji bersiap akan mengobati lukanya. Tentu dengan obat merah pemberian Tinus itu.
Agar bisa mengoles lukanya, dia harus melihatnya. Sudah berlalu empat hari sejak kejadian naas sore itu. Inilah pertama kalinya Samudji melihat hasil kerja sang gerinda.
Dengan cermin dia melihat dan kemudian tercengang luar biasa. Pemandangan keporak-porandaan pantat dan testisnya. Kulit kantung testis kanannya robek hampir sepanjang sisi bawah. Menganga. Biji testis terlihat menggantung. Menggelayut putih. Mirip gundu putih susu.
Beruntung biji testisnya tidak turut tersambar. Samudji merinding membayangkan itu.
Sementara pantatnya terlihat robek hampir sejengkal. Membentuk garis lurus ke belakang menyerempet lubang anus. Terlihat hanya satu dua senti saja dari lubang itu.
Rupanya mata gerinda menyambar sedemikian dalam. Terlihat dari bentuk luka yang sungguh lebar. Warnanya sudah menguning oleh karena empat hari dijejali cairan rivanol. Dan sudah mulai mengeluar aroma tidak sedap.
Menyaksikan pemandangan itu sontak Samudji menghajar ujar dirinya, "Gobloknya aku...ini bukan tergores lagi. Ini parah! Obat merah jelas tidak bisa. Aku harus ke UGD!"
Malam itu dia langsung ke UGD rumah sakit dekat rumahnya. Di sana dia malah mendapat gelengan kepala. Jelas tidak mungkin dijahit. Karena jaringan sudah rusak. Sudah rapuh.
Dokter memutuskan harus dioperasi. Samudji pasrah. Operasi ditentukan hari Rabu depannya. Karena harus melewati berbagai jenis pemeriksaan medis. Ini berarti sang luka menunggu selama delapan hari sejak tersambar gerinda. Sungguh luka yang penyabar.
Beberapa saat setelah siuman dari obat bius dan dinyatakan operasi berhasil, Samudji dipindahkan ke ruang perawatan.
Dari ruang perawatan, pandangan matanya menerawang menembus jendela kamar. Pikirannya mengutip kata bijak Albert Einstein, "Segala sesuatu terjadi tidak serta merta."
Dia tidak yakin bersemangat mencari sesuatu apapun itu dari kata bijak tersebut.
"Biarlah sesuatu itu yang akan menghampiriku," gumamnya lelah akibat suntikan obat bius di dekat tulang ekornya itu. **
Cerita ini merupakan kisah nyata. Kejadian pada akhir Desember 2017 di kota Denpasar. Nama dalam cerita adalah bukan nama sebenarnya.

Komentar