Humaniora | Belasan Kali Mengubur Kucing Mati, Adakah Makna Tersirat?
Ini pengalaman pribadi yang sekiranya perlu saya bagi. Oleh karena begitu unik dan kemungkinan ada sesuatu di baliknya yang belum sanggup saya urai.
Ditulis oleh karena terpicu dengan adanya topik dari Kompasiana tentang cara mengekspresikan rasa sayang pada hewan.
Saya tidak begitu suka memelihara hewan. Karena meyakini prinsip hewan itu mahluk hidup. Dan saya juga mahluk hidup. Saya lebih suka bebas. Dan tentunya hewan juga demikian. Maaf kalau saya salah.
Kalaupun ada anggapan bahwa manusia dipelihara oleh orang tuanya bahkan oleh negara, bukankah hewan juga demikian?
Untuk alasan lebih suka bebas berarti cuma pikiran saya saja yang berusaha mencari pembenaran. Sekali lagi maaf kalau salah.
"Dia bukan tidak suka memelihara hewan. Bagaimana mungkin dia memelihara hewan dengan baik kalau mengurus dirinya saja dia sudah belepotan?" Rumpian seorang kawan ini mungkin lebih pas buat saya.
Rasa Sayang Yang Terlambat Muncul
Dengan mengubur kucing mati bukankah juga merupakan ekspresi rasa sayang?
Walau tidak menyukai memelihara hewan, saya masih menyimpan rasa sayang itu. Namun sial, kemunculan rasa itu terlambat. Rasa sayang itu muncul setelah mereka mati. Saya sebut mereka, karena lebih dari satu dan juga bukan peliharaan. Jangan salah, kenalnya juga saat sudah mati. Semuanya adalah kucing.
Ada empat kucing, mati oleh karena saya. Semua terjadi dengan tidak sengaja. Satu tertabrak sepeda motor, tiga lainnya tertabrak mobil. Sisanya belasan yang lain saya temukan di jalan dan ada satu yang unik. Masih jelas terekam di kepala saking uniknya itu.
Kucing Perdana
Pertama kali mengalaminya saat di jalanan depan pasar Blimbing kota Malang, Jawa Timur. Kejadian malam hari sekitar pukul 20.00 WIB. Saat itu jalanan sedang lengang. Tujuan perjalanan kurang setengahnya. Jalanan tersebut seringkali saya lalui.
Sedang melaju agak ngebut, terasa seperti melindas benda lembut. Tidak terdengar suara. Saat itu saya pikir sebuah bungkusan. Maklum depan pasar tradisional. Segera menghentikan sepeda motor dan melihat ke arah belakang. Situasi remang. Jelas saya melihat itu seekor kucing.
Tanpa pikir panjang saya berbalik dan mendapati sang kucing masih bernafas. Mulutnya mengeluarkan darah. Saya kurang paham entah jantan entah betina. Warnanya dominan coklat muda dan putih di beberapa bagian tubuhnya. Beruntung di dekatnya ada tempat sampah yang memberikan tas kresek bekas untuk membawanya ke kost.
"Kalau kau masih hidup, akan aku pelihara. Kalau mati yah..aku minta maaf..," demikian pikiran mengalun saat itu.
Sampai di kost, dia mati. Periksa sekali lagi. Ya saya pastikan dia mati. Saya kubur di belakang rumah kost. Di sepetak ladang tak terurus.
Kost yang biasanya riuh, dan masih riuh saat berangkat tadinya, tumben malam itu sepi. Tak ada pawai penguburan. Mungkin itu maunya sang kucing.
Pada lubang sedalam sejengkal lebih setengah, prosesi penguburan lancar. Saya mengelus membersihkan badannya. Namun tidak berani menyentuh darahnya. Menidurkannya dengan melingkar seperti cara tidur kucing yang saya pahami. Setelah sebelumnya memberi alas tidur selembar daun. Entah daun apa. Tercomot begitu saja di ladang itu. Saya bekali beberapa rupiah. Tak lupa meminta maaf sekali lagi dan memanjatkan doa. Lanjut menimbunnya.
Ada rasa plong sesaat setelah itu.
Kucing Tertabrak Mobil
Ini terjadi di Bali. Di jalan raya bypass Ketewel menuju arah Gianyar. Malam hari juga dan lebih larut. Hampir tengah malam.
Saat itu sedang mengantar tamu pulang ke penginapan di kota Gianyar. Di tengah jalan saat sedang melaju kencang, mobil menabrak dua ekor kucing sekaligus. Mereka melintasi laju mobil. Mereka berkejaran.
Satu kucing mati di tempat. Kawannya masih bernafas. Masih hidup. Yang mati saya kubur di sekitar itu. Banyak lahan kosong saat itu. Prosesinya persis sama dengan saat penguburan di Malang.
Tamu dari Singapura yang seorang diri itu histeris. Ketakutan setengah mati. Apalagi kucing yang berlumur berdarah dan masih hidup itu saya letakan di bagasi belakang. Sungguh malam yang heboh.
Sepulang dari mengantar tamu, kucing satunya sudah tidak bernafas. Tidak bernyawa. Tentu saya kubur juga. Sempat kebingungan mencari tanah kosong. Akhirnya saya kubur di sebidang tanah landai pinggir sungai di bagian selatan kota. Juga dengan prosesi yang sama.
Ada satu lagi yang mati oleh karena terlindas mobil. Kali ini menggelikan. Malam hari sehabis tutup warung, saat akan berangkat pulang, seperti biasa memanasi mesin mobil.
Tentu dengan menghidupkan putaran mesin. Mesin diesel yang sudah berumur lanjut. Suaranya kasar. Getaran mesin keras. Pemanasan putaran idle berlangsung tiga sampai empat menit. Disertai dengan injakan beberapa kali pada pedal gas, memastikan padatnya solar.
Baru saja roda mobil mulai memutar perlahan, terdengar suara, "Ngeeek..," dari arah kolong mobil. Kucing putih bercorak hitam pasrah melindaskan diri. Saya tidak habis pikir. Mengapa dia sedemikian bodohnya berkeputusan.
Tengah malam itu sungguh membuat pusing. Stamina sudah loyo. Seharian mengurus warung. Sekarang mengurus penguburan. Sisa-sisa pikiran dan tenaga memutuskan penguburan langsung di tempat itu.
Tinggal membuka pintu mobil, langsung saya duduk di bawah. Saat itu halaman depan warung masih berupa urugan limestone yang dipadatkan. Lanjut menggali. Darah melumuri urugan. Prosesi juga sama. Tak lupa juga dengan doa-doa agar dia tenang di alam sana dan memberikan maafnya untuk penguburan yang ala kadarnya itu.
Kucing Gontai Mati di Kaki
Inilah satu yang paling unik dari sekian jalan kematian sang kucing. Saat menutup dan mengunci pintu gulir warung, dari jarak tiga empat langkah, pandangan mata tertahan pada seekor kucing yang sedang berjalan santai mendekat. Lebih tepatnya gontai. Karena saat itu terlihat si kucing seperti kurang sehat. Kurus. Agak dekil. Kucing yang masih muda. Terlihat dari perawakannya yang tanggung. Sepertinya jantan. Berwarna cokelat muda berpadu putih.
Semakin mendekat, saya tetap memperhatikannya. Saya diam mematung. Tepat sampai di kaki kanan, dia lunglai terjatuh menimpa tepat di punggung kaki kanan. Terasa hangat. Saya pikir dia tidur. Beberapa detik dia diam. Saya begitu yakin dia tertidur. Mungkin mengantuk yang sangat.
Jari kaki kanan saya gerakan. Dia tetap diam. Sebenarnya saat itu saya sudah lelah. Ingin cepat pulang. Hari sudah larut malam.
Untuk membangunkannya, telapak kaki saya angkat. Dia masih saja diam.
"Heyy...kenapa kau? Hayoo bangun..aku mau pulang...," ujarku saat itu.
Habis kesabaran, akhirnya telapak kaki saya angkat lebih tinggi untuk membuatnya berdiri. Apa yang terjadi? Dia malah rubuh ke posisi berlawanan. Saya kaget.
"Haduhh..mati lagi ini kucing..," desah saya saat itu.
Benar adanya. Dia mati. Saat saya raba bagian dadanya, tidak ada denyut. Mulutnya mengeluarkan cairan. Wah.. Wah.. Wah..
Akhirnya saya kubur di seberang warung. Saat itu masih tanah kosong. Iya..prosesi yang sama seperti yang lain.
Merasa Seperti Disukai Kucing Mati Sampai Menulari Ibu dan Istri
Kala itu menjalani hidup sungguh unik. Sempat bertanya dalam hati, mengapa saya begitu disukai kucing mati. Beberapa kali terjadi saat pulang dari warung. Tentunya saat tengah malam. Seakan kalau berani menoleh maka itu adalah kucing mati. Aneh bukan?
Di sebuah jalan lurus satu arah dengan dua jalur, dari kejauhan saya merasa melihat sesuatu. Posisi mobil di jalur kanan. Ada beberapa mobil dan sepeda motor yang berdekatan melaju berbarengan.
Saat sudah dekat. Benar itu kucing yang tergeletak. Jelas oleh karena tabrak lari. Tapi orang-orang sesama pengendara itu tidak mengambilnya. Padahal mereka lebih dekat. Akhirnya saya juga yang mengurusnya.
Di halaman rumah sampai penuh saya kuburi kucing. Di depan rumah, di pinggir pagar rumah ada tiga berderet makam kucing. Suatu kali pernah akan menggali. Anak sulung saya meneriaki kalau di tempat itu sudah pernah saya kuburi. Luar biasa bukan?
Keunikan ini bahkan menular kepada ibu dan istri saya. Mereka masing-masing pernah membawa pulang kucing mati. Ibu saya dua kali menemukan begitu saja di pinggir trotoar. Juga istri saya menemukan di ujung gang sepulang dari rumah famili. Ya semuanya saya yang mengubur di halaman rumah.
Berakhirnya Karena Lelah dan Tidak Pernah Terjadi Lagi
Ada awal ada akhir. Mungkin benar adanya kalimat itu. Saat terakhir melihat kucing mati di tengah jalan yang setiap hari saya lalui, saya tidak mengambilnya. Saat itu luar biasa lelahnya badan. Mata sedemikian mengantuk.
"Maafkan saya..tidak bisa mengurusmu..saya benar-benar lelah. Mudah-mudahan ada orang lain yang mengurusmu..," ucap saya di dalam hati tengah malam itu pada sang kucing. Sempat saya lirik lewat spion sebelum akhirnya belok kiri pulang.
Setelah kejadian malam itu, sembilan tahun sudah berlalu. Hingga saya menulis ini tidak pernah lagi saya menjumpai kucing mati. Kadang ada rasa rindu untuk melakukan itu lagi.
Kalau ditilik dari sebagian judul, "Apakah bukan merupakan ekspresi rasa sayang?"
Saat ini bisa saya jawab, "Sayangnya tidak kau lanjutkan mengurus kucing mati yang kau lihat terakhir itu, hehe."
Mungkin pembaca yang budiman bisa memberi masukan apa sekiranya makna yang tersirat dari kejadian unik yang saya alami itu. Terima kasih.**

Komentar