Cerpen | Sore Emperan Warung di Negeri Bercap Maju
"Kita harus bangga bro..mendapat cap negara maju. Kita sudah dianggap sebagai negara maju. Kita sudah sejajar dengan mereka..," seru Anas bersemangat. Tangannya menunjuk dan mengepal ke atas. Entah apa maksudnya.
"Tenang bro..ada apa ini? Girang benar kau..siapa pula yang memberi cap itu?" sahut Samudji tak kalah semangat.
"Amerika bro.. A..me..ri..kaa..kau tahu Amerika? Presidennya mengatakan itu...keren khaan? Kau harus bangga broo...," lancar Anas memberondongkan kalimat lengkap dengan mengejanya.
Samudji yang mendengar itu hanya mendengus. Bukan dia tidak percaya. Dia juga sudah mengetahui hal itu. Hanya saat itu dia lebih pas seperti memperlihatkan warna air muka seseorang yang ingin gado-gado, namun dapatnya bubur ketan hitam.
Air muka Samudji yang dingin membuat Anas segera sadar. Bekas kawan SD-nya itu seperti kurang antusias.
"Lha Amerika negara maju siapa yang memberi cap? Jangan jangan cuma kita yang menyebut mereka negara maju. Ya termasuk kau itu," sergah Samudji berasa tendangan balik.
"Maksud kau? Bikin pusing saja kau ini. Aku khan cuma merespon berita saja. Kau membuatnya menjalar ke mana-mana. Kepala kau itu penuh kabel. Apapun kau hubung-hubungkan. Kau jungkir balikkan. Aneh kau ini..," ketus Anas menerabas. Seringkali dia kedodoran mengikuti jalan pikiran Samudji. Entah mengapa tetapi dia suka.
"Begini saja bro. Agar kau lebih tenang. Tirai yang mengaburkan pandangan kau itu, aku coba buka perlahan-lahan, tentu dengan kabel-kabel yang kau sebut tadi," ujar Samudji sambil tersenyum dan mulai melancarkan tutur.
"Ini ibarat sebuah permainan. Iya, tidak lebih dari sebuah permainan. Kau pernah melakukan sebuah permainan?" Samudji mendongaki Anas yang terlihat kurang bergairah.
"Iya pernah...kau lanjut saja..mumpung aku sedang mau mendengar..," sahut Anas terlihat hambar. Tangannya segera meraih minuman bersoda. Menenggaknya sambil menerima celoteh kawannya itu.
"Aku pernah baca di buku tulisannya Guntur Soekarno. Masa orde lama dulu, seorang Presiden Amerika Serikat pernah berkunjung ke Bali. Disambut oleh Bung Karno. Perjalanan lumayan jauh dari bandara menuju Istana Tampak Siring. Dari balik jendela mobil yang sedang melaju, sang presiden tamu itu menyaksikan kondisi kehidupan masyarakat Bali kala itu. Rumah-rumah rakyat sangat sederhana. Beratap jerami. Berdinding tanah liat tambalan, tanah polpolan, sebutan masyarakat setempat. Pakaian yang dikenakan ala kadarnya. Tak beralas kaki."
Samudji merasakan Anas mulai serius mendengar. Mungkin karena dia menyisipkan sosok Bung Karno dalam kalimatnya. Dia mengetahui Anas begitu kesengsem akan sepak terjang sang proklamator. Tak mau berlama-lama kalimatnyapun berlanjut.
"Si presiden tamu itu merasakan ada ketidakberesan antara yang dilihat dengan seorang Presiden Pemimpin Besar Revolusi yang gagah nan mentereng dan sedang duduk di sampingnya. Dia pun kemudian menanyakan kejomplangan itu kepada Bung Karno. Iya, perbedaan yang demikian jauh antara dirinya dan rakyatnya. Kau tahu apa jawaban sang Pemimpin Besar Revolusi itu?" tanya Samudji tiba-tiba.
"Tidak..tidak tahu aku..kau lanjut saja. Kau lebih banyak tahu. Kau lebih banyak membaca...hayoo apa jawaban Bung Karno?" sahut Anas menajam seperti tidak sabar menunggu mendengar jawaban sang idola.
Menurut buku yang dibaca itu, intinya Bung Karno mengatakan, "Tuan presiden janganlah melihat dari fisik mereka. Lihatlah wajah mereka. Lihatlah rona wajah mereka. Senyum dan keriangan mereka. Dari guratan dan rona wajah merekalah bisa dilihat kebahagiaan lahir dan bathin. Kebahagiaan jiwa dan raga. Tiada tekanan apapun yang menghantui hidup mereka. Itulah sejatinya kebahagiaan hidup. Itulah tujuan kami berbangsa."
Anas termangu. Bibirnya terkatup. Telunjuknya mengetuk-ngetuk tutup botol minuman bersoda yang tinggal setengah.
"Heyy..sudah kau dengar? Itulah jawaban Bung Karno. Itulah jawaban yang disodorkan kepada seorang presiden negara yang kau sebut maju itu. Presiden sebuah negara adi daya. Presiden sebuah negara yang lahir dari kolonialisme dan imperialisme terhadap bangsa Indian. Bangsa awal penghuni benua Amerika. Kau tidak perlu tahu berapa banyak orang Indian dibantai. Hanya untuk hidup dan menjadi negeri maju seperti yang kau sebut itu."
Anas masih ternganga. Perlahan namun pasti ia mengunyah kalimat-kalimat kawannya yang terus memberondong itu.
"Nah sekarang Presiden Amerika menyebut negeri kau, negeri kita, sebagai negeri maju? Dan kau bangga?...he..he..kau boleh bangga. Dan kau berhak bangga. Karena apa? Kau tahu karena apa?" kali ini Samudji mendelik. Sorot matanya tajam. Seakan mencincang urat nadi pemikiran Anas.
Menyadari hal itu Anas bergidik. Malah merasa geli. Dia tahu kawannya itu kalau menjelaskan sesuatu sering terbawa emosi. Dia berusaha mengimbangi. Kepalanya langsung dianggukan. Tanda tunduk dan mempersilakan melanjutkan kalimat.
"Seperti yang aku katakan di awal tadi. Ini hanya sebuah permainan. Kau merasa bangga karena kau merasa ikut dalam permainan itu. Kau hanyut dalam permainan itu. Kau pernah hanyut? Kau pernah melihat tikus hanyut? Heyyy...pernah apa tidaak?" agak membentak nada tersembur.
"Iyaa..iya aku pernah melihat tikus hanyut..," sahut Anas galak.
"Seperti itulah kau. Seperti itulah negeri kita yang sudah terseret dalam permainan mereka. Permainan negara-negara kapitalis. Bentuk penjajahan sudah berubah. Dulu kau tahu penjajahan itu adalah mengerang di bawah moncong senapan. Sekarang kau tahu?" lagi-lagi Samudji mendelik.
" Apa..hah?.. Sekarang Apa?" colot Anas tak mau kalah.
"Sekarang penjajahan itu lebih sadis. Bukan mengerang lagi. Tetapi sudah menggelepar-gelepar. Sudah mengampar-ampar blingsatan di bawah tekanan ekonomi. Penjajahan ekonomi sudah bukan hanya dalam tataran berbangsa. Dalam hubungan orang per orang pun penjajahan ekonomi terjadi lebih mengenaskan. Dalam situasi seperti itu, bagaimana mungkin kau akan menemukan guratan dan rona wajah rakyat sesumringah seperti yang disaksikan presiden tamu itu?"
Anas menarik nafas dalam. Dia tidak mengira akan diguyur kata-kata sedemikian berat. Namun ia mulai memahaminya.
"Cita-cita Bung Karno itu luhur. Kau mungkin pernah mendengar cita-citanya membangun dunia baru. Tanpa eksploitasi antar bangsa dan tanpa eksploitasi antar manusia. Kau tahu apa itu eksploitasi? Itu sama saja dengan penghisapan."
"Uh..penghisapan? Mengerikan bahasa kau itu.. Hati-hati kau Sam..sekarang mudah orang masuk bui hanya salah ucap..," Anas mengingatkan.
Samudji tidak menghiraukan ucapan Anas. Dia sudah begitu terbawa arus arah pikirannya. Pita suaranya seakan menyatu dengan pikirannya. Melaju kencang menghunjam cecar gendang telinga Anas yang sudah awut-awutan itu.
"Mengapa sampai terjadi penghisapan? Kau tahu? Hey.. Anas..!..Kau tahu?" tersenyum geli Samudji menyaksikan Anas tetiba mengapurancang.
Bak seorang telik sandi yang siap melapor pada sang raja. Anas rupanya sudah lelah kebanjiran kata-kata. Dia sudah kehabisan kata hanya sekedar untuk menyahut. Alam bawah sadarnyalah yang memerintahkan gaya feodal itu.
Samudji melanjutkan berondongan kalimatnya, "Ya karena kebodohan. Kebodohanlah yang rela dan dengan sadar dihisap oleh kepintaran bermental bobrok. Bukankah itu merupakan hal yang konyol? Hal ini sudah dipikirkan Bung Karno. Maka dari itu agar kau tahu seluruh universitas negeri yang ada sekarang dibangun jaman Bung Karno."
"Benarkah itu?" tiba-tiba Anas bangkit serius.
"Kau pasti tahu mendiang BJ. Habibie. Juga Prof. Wardiman Djojonegoro putra Pamekasan Madura bekas mendikbud era Soeharto. Dua sosok tersebut adalah bagian dari puluhan siswa cerdas yang dikirim Bung Karno ke luar negeri untuk menimba ilmu. Dan setahu aku hanya dua itu saja yang pulang membangun negeri. Sisanya aku tidak tahu. Dengar-dengar oleh karena perbedaan pandangan politik masa itu, membuat mereka takut pulang dan memilih hidup di negeri orang."
"Intinya adalah mengenyahkan kebodohan. Agar terhindar dari penghisapan. Terhindar dari tipu-tipu. Karena dasarnya ini semua adalah permainan. Jadi siapa yang cerdas dia selamat dari tipu-tipu."
"Haa..ha..aku mengerti sekarang mengapa kau kurang antusias kalau Amerika menyebut kita negeri maju. Kau menuduh Amerika melancarkan tipu-tipu?" cerocos Anas menuding.
"Dasar manusia g*bl*k..tak ada bedanya kau dengan tukang pelintir di media sosial itu...pergi kauu..!!" gusar Samudji mengenyahkan bekas kawan SD-nya itu.
Walau dia tahu begitulah cara Anas agar terlepas dari serbuan kalimat yang juga sudah lelah ia semburkan. **

Komentar