Cerpen | Tusuk Sate dan Lakon Hidup
Samudji setengah tak percaya. Seorang ibu yang mengunjungi warungnya, adalah karib mendiang ibunya. Namanya Ibu Kapur. Mereka berdua pernah berjualan di pasar tradisional. Berdagang jenis barang yang sama namun berbeda tempat.
"Saam.. Sam..melihat kau, ibu jadi teringat ibumu. Bagaimana kabarmu? Anak istrimu? Sehat-sehat ya?" ujar Ibu Kapur antusias. Tangannya menepuk-nepuk pundak Samudji. Seakan berusaha merasakan getaran sang mendiang kawan karib.
"Iya Bu..kami sehat-sehat saja.. Semoga ibu juga sehat..." sahut Samudji dengan antusias pula sembari mencium hormat tangan sang ibu.
Samudji memahami kalau Ibu Kapur adalah seorang ibu yang suka bercerita. Suka menumpahkan cerita masa lalu. Mungkin maksudnya agar orang yang mendengar memperoleh hikmah dari pengalaman hidupnya.
Namun kali ini rupanya Ibu Kapur lebih banyak menceritakan kawan karibnya. Mendiang ibunya Samudji yang sudah mendahului dua tahun silam.
Sambil menyurungkan kursi, Samudji tetap mendengarkan Ibu Kapur. Sudah cukup lama dia tidak bertemu. Dia begitu menaruh hormat padanya. Seperti halnya menghormati ibu sendiri. Dari mendiang ibunya, dia tahu kalau hanya Ibu Kapurlah teman karibnya sedari remaja.
"Kau tahu Sam? Seluruh pedagang di pasar tradisional itu, mungkin cuma ibumu saja yang berhati emas. Budinya luhur dan sungguh mulia. Bicaranya halus. Tak pernah sekalipun ribut dengan pedagang lain," lancar lugas Ibu Kapur memulai.
"Ah..ibu bisa saja membuat saya senang. Ibu saya itu memang kalem bu. Bicaranya sedikit. Mungkin itu sebabnya mendiang ibu dulu malas ribut..hehe.." sahut Samudji meyakinkan.
"Begini Sam, apa adanya ibumu itu adalah berkah dari Yang Maha Kuasa. Kau percaya itu? Maksud ibu adalah bahwa selama ibumu berjualan di pasar itu, seperti lancar dan tidak ada masalah khan? Sanggup menyekolahkan empat orang anak hingga kuliah bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat itu ayahmu bekerja pas-pasan," Ibu Kapur menarik nafas panjang. Melirik Samudji yang sedang menerawang ke luar warung seperti sedang memikirkan sesuatu.
Samudji merasakan ada sesuatu yang belum dia ketahui. Entah apa itu. Dari tutur kata Ibu Kapur menyiratkan itu. Apalagi sampai menyebut Yang Maha Kuasa. Ah dia merasakan rinding yang kuat. Rupanya dia perlu melebarkan daun telinga lagi.
Ibu Kapur menyeruput teh hangat yang tersaji. Penganan nogosari nan lembut belum disentuh. Tuturnya bergulir lagi.
"Kalau kau sadar, posisi los jualan ibumu di pasar itu adalah posisi tusuk sate. Posisi yang sangat dihindari oleh semua pedagang. Posisi yang tidak disukai. Kau tentu tahu itu. "
"Oh..iya Bu..saya tahu itu," Samudji mangut-mangut. Sebenarnya dia sudah lama mengetahui. Tetapi tidak begitu memperhatikan. Mungkin karena selama mendiang ibunya berjualan di pasar itu, aman-aman saja. Lancar-lancar saja. Tidak pernah sekalipun terjadi hal-hal yang mencolok.
Tutur Ibu Kapur berlanjut. "Di pasar berlantai tiga itu ada dua belas posisi tusuk sate. Hanya ibumu saja yang sanggup berjualan hingga dua puluh tahun lebih. Dan menjadi bakul jualan yang besar. Sisanya kau tahu? Kebanyakan menjadi gudang. Apalagi di lantai tiga. Semuanya dipakai gudang. Lainnya sering berganti-ganti pemilik. Malah ada yang tutup sama sekali."
Sampai di sini, pikiran Samudji mulai melayang ke pasar itu. Dia sungguh memahami seluk beluk pasar itu. Bagaimana tidak, jejak masa kecilnya banyak membekas di pasar itu.
Benar seperti yang dikatakan Ibu Kapur. Dari semua posisi tusuk sate, hanya los ibunya saja yang sanggup bertahan. Dia juga masih ingat betul sejak pasar itu berdiri, ibunya sudah menempatinya. Tidak pernah berganti. Tentu sesuai dengan penempatan pihak pasar.
Awal ibunya berjualan juga hanya dengan sebuah meja seukuran meja belajar. Barang yang dijual juga bisa dihitung dengan jari. Dan tidak banyak. Entah bagaimana, sampai dia memasuki SMP, dia merasakan barang dagangan ibunya sudah mulai semakin bertambah. Terlihat penuh. Rak juga sampai belasan unit. Tempat bertambah hingga empat los.
Mungkin ada benarnya sanjungan Ibu Kapur itu. Saat masih kecil, Samudji pernah menyaksikan reaksi ibunya saat barang dagangan dicuri. Satu jerrycan penuh minyak sawit digondol maling. Ibunya tidak memperlihatkan rasa marah. Apalagi mengumpat. Kecewa mungkin iya. Saat itu dia mendengar ibunya berkata lirih, "Yaah..hilang..mau bagaimana lagi. Mudah-mudahan besok lusa tidak terjadi lagi," terdengar seperti pasrah. Sepertinya mendiang ibu sudah mengetahui bahwa semua sudah ada yang mengatur.
Benar juga seperti yang dikata Ibu Kapur. Semenjak ibunya tidak berjualan karena usia dan mengidap vertigo, tempat tersebut dijual. Pemilik baru tidak bertahan lama. Hanya hitungan bulan, dioper lagi. Dan sekarang menjadi gudang.
Sementara Samudji sudah membuka warung sendiri di bagian barat kota. Jauh sebelum ibunya berhenti berjualan di pasar. Lebih menjanjikan karena di lingkungan pemukiman.
Samudji merasakan obrolan dengan Ibu Kapur semakin berisi. Saat dia teringat kembali sebuah pesan dari mendiang ibunya yang hanya tamatan Sekolah Rakyat itu. Sehubungan dengan dia membuka warung klontong. "Lemete kel sing lung," ("lentur, luwes takkan patah").
**

Komentar