Sosbud~Literasi ala Donat dan Monyet Rasudi
Literasi Ala Donat dan Monyet Rasudi
Rasudi risau. Tiga anaknya sudah sebulan ini bersekolah di rumah. Mereka, anaknya, guru dan teman kelas bertatap muka melalui perangkat elektronik. Telepon pintar dan laptop.
Rasudi sering menyaksikan ketiga anaknya tidak lengkap berseragam sekolah. Setengah saja. Hanya mengenakan dasi dan kemeja. Nyeker tanpa sepatu. Celananya, celana terusan dari hari kemarin. Celana harian di rumah.
"Wah..wah..wah..ini berbahaya kalau terus-terusan seperti ini..," gumamnya suatu saat.
Wajar dia berpikiran seperti itu. Karena dia juga mengetahui pelajaran yang diterima anaknya hanya secuil. Bagaimana tidak, pelajaran berlangsung tidak lebih dari satu dua jam. Bahkan kadang hanya hitungan menit. Itupun kalau cuilan pengetahuan masuk ke benak anaknya. Kalau tidak? Itulah bahaya yang dimaksud.
Rasudi tidak sudi anaknya bagaikan kerupuk. Besar namun tanpa isi. Besar bicara namun tak bermakna. Atau malah diam tak mengeluarkan suara kemudian mengkerut masuk angin dan tak berguna.
Rasudi tentu tidak mau menyalahkan pandemi Covid-19 yang sedang mengoyak negeri. Apalagi dia juga mengetahui hampir seluruh sekolah di muka bumi, menghentikan proses belajar tatap muka. "Manusia bumi sedang mencari selamat," pikirnya.
"Tar..Tortaar..coba sini sebentar," panggil Rasudi pada anak keduanya.
Tortar segera keluar menghampiri ayahnya. Dia sekarang sudah kelas lima sekolah dasar. Ayahnya ingin mengetahui seberapa mahal ilmu pengetahuan itu.
Kalau anaknya tidak tahu apa-apa berarti ilmu pengetahuan sangatlah mahal. Kalau pengetahuan anaknya sesuai dengan yang tercurah saat pengajaran jarak jauh, berarti harganya lumayan. Entah lumayan mahal entah lumayan murah.
Setidaknya dia merasa tidak percuma sudah mengeluarkan sejumlah uang walau tanpa potongan covid sedikitpun. Ini bukan sepenuhnya tentang bodoh tidaknya sang anak. Walau Rasudi juga tidak menyangkalnya.
"Kau masih ingat saat membeli kue donat di toko depan itu?" tanya Rasudi membuka percakapan.
"Iya bopo..Tortar masih ingat," sahut Tortar sumringah. Dia merasakan akan ada hal baru yang dicurahkan ayahnya yang penuh kejutan itu.
Rasudi membiasakan anak-anaknya memanggil dirinya dengan sebutan bopo. Di tengah gempuran budaya modern. Agar setidaknya masih tertinggal kesan keadiluhungan budaya nusantara. Kadang kala dia merindukan itu.
"Kapan kau membayar donat itu? Setelah kau mendapatkan donat atau sebelumnya?" tanya Rasudi serius.
"Setelahnya bopo..setelah mendapatkan donat baru kemudian Tortar bayar."
"Baiklah..," ujar Rasudi mangut-mangut kemudian menarik nafas. Pertanyaannya berlanjut.
"Apakah kau menawar harga donat itu..?" tanya Rasudi sambil menatap serius anaknya.
"Hahaha...bopo ini ada-ada saja. Masa sih Tortar menawar harga satu donat. Malu..po..maluu..sama teman-teman. Mereka semua tidak ada menawar...," sahut Tortar terkekeh-kekeh menyadari keanehan ayahnya.
"Baik..baiklah...," ujar Rasudi seakan memakluminya. Tentu dia juga tidak akan menawar harga untuk sebuah donat. Dia sedang mengirim sebuah pemahaman pada benak sang anak.
"Apakah donatnya enak? Bagaimana rasanya? Apakah kau akan kecewa kalau donatnya berasa aneh? Misalnya berasa kecoa?" tanya ayahnya dengan keunikan yang lain.
"Kecoa? Rasa kecoa? Hahaha..poo..bopoo..ya jelas Tortar tidak mau. Masa donat rasa kecoak? Bukan kecewa po..langsung Tortar kembalikan. Minta ganti. Harus dapat donat dengan rasa donat..hehe..ada-ada saja bopo ini...," gelak tertawa Tortar meladeni perbincangan dengan ayahnya minggu pagi itu.
Rasudi terlihat puas. Kemudian, "Nah rupanya kau, Tortar sudah mengerti. Itulah yang sedang terjadi hari-hari belakangan ini. Bopo sudah membeli donat itu. Donat yang bopo beli itu bentuknya adalah pengetahuan dari sekolahmu. Pelajaran dari sekolahmu. Donat yang berupa ilmu pengetahuan," ujar Rasudi dengan nada serius. Kalimatnya terucap perlahan agar Tortar menyerapnya dengan baik.
Pandangan Tortar menerawang jauh. Rupanya dia sedang diukur. Ayahnya seorang pedagang. Tentu tidak mau rugi sebagaimana yang pernah dia dengar.
"Donat itu adalah pelajaran apa yang kau terima kemarin?" tanya ayahnya kemudian. Menyaksikan Tortar mulai serius mengobrak-abrik isi kepala.
"Asean..po..tentang Asean. Guru memberikan pelajaran tentang Asean," sahut Tortar seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Nah coba beritahu bopo tentang Asean itu..agar bopo juga merasakan enaknya donat Asean itu," ujar Rasudi seperti ingin tahu.
Beberapa jawaban terlontar. Namun seperti kurang memuaskan Rasudi.
"Berarti bopo sudah membeli donat rasa kecoa. Bukankah seperti itu?" tanya Rasudi mulai bermain-main dalam pikiran Tortar yang sedang berantakan.
"Ah bopo..bukan begitu. Tortar lupa saja. Belum membaca lagi," sahut Tortar membela diri.
"Baik..baiklah tidak masalah. Yang penting Kau memahami percakapan kita tadi. Sekarang apakah kau tahu monyet?" tanya Rasudi lagi. Rupanya dia ingin meyakinkan anaknya agar benar-benar memahami penting ilmu pengetahuan.
"Iya tahu..monyet semua orang juga tahu po..," sahut Tortar dengan pandangan awas. "Ada apa lagi ini," pikirannya bertanya-tanya.
"Coba misalnya kau tanya tentang Asean pada seekor monyet. Apa sekiranya yang terjadi?" tanya Rasudi lagi.
Tortar tidak menjawab. Tidak berani melepas gelak. Hanya tersenyum kecut menyadari sedang kena hajar.
"Monyet tidak akan bisa menjawab. Nyengar-nyengir saja. Karena dia tidak mengerti apa yang didengar. Sementara kau, Tortar tentu berbeda. Kau bisa mengerti perkataan. Maka tentu kau bisa menjawab. Itulah bedanya. Sekarang tinggal pilih. Ingin menjadi monyet apa tidak?"
"Ah..bopo bisa saja...," sahut Tortar sambil berlalu cepat. Gelaknya tak sanggup ditahan.
Rasudi, ayahnya puas menyaksikan hasil percakapan pagi itu.***

Komentar