Cerpen~Jalan Pintas Ibu Cuplis
Ibu-ibu jongkok berkerumun. Mengerubung seorang ibu penjaja sayur mayur, lauk dan kebutuhan dapur. Rutinitas pagi hari.
Ibu Cuplis, demikian biasa ibu-ibu memanggilnya. Berjualan dengan hanya menggunakan keranjang bambu yang besar. Dijunjung dari pasar setelah sebelumnya diisi penuh dengan berbagai macam sayuran, lauk dan pernak pernik kebutuhan dapur. Sudah dipilah-pilah dan dikemas sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Ibu Cuplis berjualan di gang. Di depan rumah di atas kali yang ditutupi beton. Buka hanya sekitar dua jam saja. Jam delapanan sudah bubar. Ibu-ibu sekitar pemukiman adalah langganan tetapnya. Seperti sudah menjadi jodoh yang awet. Langganannya dari waktu ke waktu hanya itu-itu saja. Bahkan Ibu Cuplis yang sudah pindah tempat tinggal jauh di luar kota, masih bersemangat hadir melayani.
Hingga pada suatu pagi, saat sedang membersihkan sesuatu di halaman rumah bagian depan, dari balik tembok pagar terdengar jelas Ibu Cuplis menghitung harga barang.
"Dua tiga tambah sembilan, tiga sembilan."
Pikiran saya terbelalak. Mengapa tiga puluh sembilan? Rasa ingin tahu tiba-tiba mencuat. Segera saja saya mendongak pintu pagar. Mengintip mencari tahu.
Terlihat empat orang ibu-ibu sedang serius memilih barang dagangan. Tidak ada satupun ibu-ibu yang terlihat protes akan hitungan yang salah itu. Hitungan yang lebih menguntungkan si penjual. Tentulah karena ibu-ibu itu sedang fokus memilih barang. Tidak mungkin kalau mereka tidak bisa berhitung.
Kejadian pagi itu saya pendam. Saya lupakan. Berlalu dengan hanya meninggalkan gelengan kepala dan gumaman, "Ada-ada saja cara orang mencari uang."
Selang beberapa hari kemudian, pagi tadi, anak bungsu saya yang masih kelas lima sekolah dasar, saya ceritakan kejadian itu. Rasa penasarannya menyeruak. Langsung saja dia lari ke depan. Menguping dari balik tembok.
Sejurus kemudian dia berlari menghampiri saya.
"Bopo...Benar..po..hitungannya salah. Lima belas tambah enam, dia bilang dua enam, hehe... hihi" ujar anakku cekikikan.
"Huss..kau jangan mentertawainya. Ibu Cuplis itu tidak salah. Dia tahu salah. Tapi dia sedang bekerja. Itulah pekerjaannya. Sekarang tinggal kita saja. Mau dibodohi apa tidak," sahut saya sekenanya.***

Komentar