Humor~Resesi, Tamu Langka
Samudji mewanti-wanti dirinya. Resesi akan datang. Resesi akan tiba. Ini berarti kehidupan normal yang biasa dilakoni sedikit banyak akan mengalami perubahan.
Jauh sebelum penyelenggara negara memastikan resesi, Samudji sudah mengambil ancang-ancang. Maklum dia kurang suka hal-hal yang bersifat mendadak. Hal-hal yang bersifat kagetan.
"Lambat laun resesi akan datang. Aku harus menyambutnya. Aku harus tahu diri. Aku tidak boleh membuatnya kecewa. Saat dia datang, Aku harus terlihat bersemangat menyapanya. Dia sudah berbaik hati memberi tanda-tanda akan hadir. Ini sungguh menyenangkan. Aku tidak boleh terlihat bodoh di depannya nanti," demikian pikiran Samudji yang langsung dipakai sebagai landasan menapak hari.
Ibarat melihat mendung tebal di kejauhan. Walau sinar matahari masih menerpa, arah angin akan mengantar bergumpal-gumpal mendung tebal itu. "Payung harus segera disiapkan," pikiran Samudji mematut-matut.
Persiapan sudah dipetakan. Berbagai sudut pandang sudah diteropong. Keputusan-keputusan kecil sudah dilakoni dengan baik dan ketat. Hasilnya lumayan. Sebanding dengan beberapa kilogram beras. Bahkan lengkap dengan sepotong daging segar.
Di rumahnya yang tidak seberapa kecil,saat malam hingga subuh, biasanya ada enam bola lampu yang terus menyala sampai pagi. Cuma tiga yang diperboleh hidup terus. Ketiganya pun ditukar dengan daya yang lebih kecil dari lampu ruangan lain.
Keran air yang menetes direkondisi. Dia tidak mendinginkan ruangan dengan alat pemakan setrum. Beruntung, gaya bangunan tiap ruangan bersirkulasi udara bagus. Jendelanya pun besar-besar. Hanya menggunakan kipas angin pelempar asap keluar dapur. Itupun digunakan saat memasak sambal terasi yang menyengat.
Anak-anaknya ditatar. Saat tidak memerlukan penerangan, entah siang entah malam, agar ingat mematikan lampu. Demikian juga televisi. Charger Hp, komputer dan laptop.
Agar lebih merasuk, dia juga menggambarkan pada anak-anaknya, tentang anekdot Rusia yang sangat efisien menggunakan energi listrik. Di mana di saat malam, sepasang suami istri memutuskan bercerai. Sesaat setelah pergi membanting pintu, si lelaki datang lagi hanya untuk mematikan lampu ruangan yang dipenuhi sesengukan bekas istri. Dan dia berkata," Lampu ini masih tanggung jawabku."
Samudji juga menjelaskan akibat yang ditimbulkan wabah. "Sekarang masa susah. Pendapatan semua orang menurun. Bahkan terjadi di seluruh muka bumi. Dulu ibaratnya ada uang lima belas direbut oleh sepuluh orang. Nah sekarang uangnya cuma ada lima. Yang merebut juga sepuluh orang. Jadi Kau bisa memahami. Ada orang yang tidak mendapatkan uang itu. Sementara kebutuhan hidup jalan terus."
Penjelasan itu segera saja bisa dipahami oleh anak-anaknya. Perlahan mereka terbiasa menerapkan hidup hemat energi.
Samudji yang terbiasa menggunakan mobil, harus senang menggunakan motor. Kecuali ada keperluan yang memerlukannya, baru dipakai.
Empat bulan sudah berlalu. Resesi, tamu langka itu akan segera datang. Namun dia sudah siap dengan seluruh kemampuannya. Walau penghasilan dari berdagang turun drastis, dia sudah mantap menyambutnya.
Seperti kata orang berkeyakinan tinggi. Manusia boleh berencana, namun tetap Tuhanlah yang menentukan. Hingga kemudian saat resesi datang bertamu, tiga anaknya dan istri ikut nimbrung.
"Pak, SPP bulan ini belum bayar. Sudah ditanya.."
"Pak..keran air yang dibenerin kemarin, jebol lagi.."
"Sudah tanggal dua puluh Pak..inget bayar listrik..BPJS juga sudah nunggak dua bulan.."
"Inget Pak...angsuran pegadaian..."
"Angsuran motor...jangan lupa ya Pak.."
"Pak..vitamin C dan madu lebahnya habiiss..."
"Pak..minta uang..bayar uang sampah. Tuh sudah ditunggu di depan.."
"Pak...ban sepedanya pecah...ganti ya.."
"Pak..kuota habiiss...ada tugas dari sekolah..."
"Pak...tahu tek lewat..beli ya..."
Mendengar semua itu, Samudji harus tetap tersenyum sesuai janjinya. Karena sang tamu, resesi sedang tersenyum menatapnya.
"Mati Kau.." desis sang tamu.***

Komentar