Cerpen | Kisah Lelap Penyulut Rokok Penyeruput Kopi
Perkara besar atau kecil adalah makanan kesukaannya. Sebesar apapun masalah menghadang, dia akan tersenyum kemudian menyulut sebatang rokok dan menyeruput segelas besar kopi tubruk. Dengan gelas yang bergagang.
Seruput dua seruput, masalah dipilah kecil-kecil, ditumbuk dan digiling halus hingga menjadi tepung kemudian lenyap tertiup angin.
Dia memang benar-benar hebat. Semua kenalan mengakuinya. Sampai pada suatu hari, kepalanya tiba-tiba pening. Dia hampir saja lupa kalau masih punya satu masalah yang belum selesai.
Dan seperti gayung bersambut, masalah yang hampir terlupakan itu begitu saja mencarinya. Menghubunginya saat kepalanya sedang pening. Beruntung. Masalah itu membawa masalah.
Masalah yang membawa masalah itu ada pada diri kawannya. Kawannya itu telah dituduh menganiaya pembantunya sendiri. Pengakuannya sama sekali belum pernah menyentuh si pembantu. Dilaporkan ke polisi. Ditangkap dan diinterogasi. Ancaman bui tiga bulan menanti.
Saat diperbolehkan pulang sebagai tahanan kota itulah sang kawan berkesempatan menghubunginya untuk minta tolong.
Pertemuan terjadi di sebuah angkringan langganan. Seperti biasa dia menyulutkan sebatang rokok. Kemudian minta dibuatkan segelas kopi tubruk. Dengan gelas besar yang bergagang.
Kemudian dia berkata pada kawannya itu, "Berapa banyak uang tabunganmu?"
"Adalah. Apa perlu aku sebut?"
"Baiklah. Besok serahkan sepuluh juta saja. Masalahmu selesai."
Keesokan harinya sepuluh juta rupiah segera diserahkan. Lembaran uang yang kencang dan masih sangat baru. Aroma minyak Peruri seperti belum habis menguap.
Dia tidak perlu menghitung lagi. Detektor tangannya sudah menghitung berat uang dengan otomatis. Dan itu sudah pas sepuluh juta rupiah.
"Kau tunggu saja hasilnya. Segera kau ketahui. Biar aku bebas bergerak," ucapnya seraya berlalu. Disertai dengan senyuman yang mengembang.
Beberapa hari berlalu, kawannya tetap diproses. Hukum berjalan lurus. Senyum kawannya tetap terumbar. Yakin akan segera bebas. Sepuluh juta sudah melayang.
Waktu berlalu, tidak juga dirasakan efek sepuluh juta itu. Tahanan kota masih berlaku. Tidak ada tanda-tanda masalah akan beres.
Kesabaran kawannya sudah habis. Dihubungi segera pertelepon.
"Bagaimana? mengapa aku masih ditahan? Kau bawa ke mana uang itu?"
"Ya aku pakailah. Beli soto. Tadi malah sempat nyoba sepatu baru. Dan melihat-lihat burung kenari. Itu khan uangku. Bertahun-tahun kau ngutang sampai lupa..," ujar suara dari ujung sinyal.
"Baik..baik..oke..oke..sekarang aku bagaimana?"
"Masalah hutang kau sudah beres. Sekarang masalah hukum kau. Kau mau beres? Serahkan sepuluh juta lagi," sahut suara dari ujung sinyal dengan begitu tenang.
"Gila kau.. Kau memeras aku! Bisa aku laporkan kau!"
"Boleh.. Boleh.. Kau laporkan saja. Malah kau kena pasal tambahan ikut menyuap polisi. Berabe kau!"
Beberapa saat pikiran kawannya berkutat, kemudian, "Apa jaminannya kau bisa membebaskan aku?"
"Kau nanya jaminan? Kau mau bebas apa tidak?"
"Baik.. Baik.. Aku percaya kau. Kalau kau menipuku lagi.. Kemanapun akan ku kejar!"
Sepuluh juta kedua
Keesokan harinya sepuluh juta rupiah kedua diserahkan lagi. Saat mengeluarkan uang, kawannya berujar, "Tunggu, aku tidak mau tertipu lagi. Apa yang akan kau lakukan dengan sepuluh juta ini agar aku bebas?"
"Kau katakan saja bukan kau yang melakukan penganiayaan itu. Kau tuduh saja aku yang melakukan itu. Beres. Mudah khan? Aku jamin kau langsung bebas."
"Apa semudah itu? Aku bukan orang bodoh. Polisi sudah menginterogasi aku!"
"Hey.. Kau katakan itu saja. Tidak usah banyak teori. Mengerti apa tidak? "
"Baik.. Baik.." sahut sang kawan mengalah. Dia masih menaruh harapan pada perokok berat dan penyeruput kopi tubruk bergelas gagang itu.
Keesokan harinya, sang kawan mendapat telepon dari kantor polisi. Disuruh agar segera menghadap hari itu juga. Inilah kesempatannya untuk membuat pengakuan. Bahwa ada orang lain yang melakukan penganiayaan itu. Tentu dia akan segera bebas.
"Sungguh jitu akal-akalan si perokok berat itu, bagaimana dia akan menghadapinya? Akalnya banyak tapi mengapa dia seperti bodoh?" pikirnya dalam perjalanan ke kantor polisi.
Sampai di kantor polisi, dia langsung mengatakan itu.
"Maaf Pak, sebenarnya bukan saya yang melakukan penganiayaan itu. Ada orang lain melakukannya. Kemarin sudah saya temukan orangnya. Dia sudah mengaku," ujar sang kawan lancar. Kalimatnya seperti sudah dipersiapkan dengan matang.
Pak polisi mengangguk. Mengamati sang kawan lekat-lekat. Kemudian aparat berwajib itu berkata, "Bapak Luki tidak perlu menuduh orang lain. Bapak Luki sudah tidak ada tuntutan lagi. Pagi tadi saudara Tinus sudah mencabut berkas tuntutan. Sudah tidak ada masalah. Bapak Luki bebas. Segera tanda tangani surat ini."
Ternyata sang kawan bernama Luki. Dan saat itu Luki terbelalak mendengar berita dari Pak Polisi.
Sepulangnya dari kantor polisi, Luki segera mampir ke tempat angkringan. Tempat biasanya si perokok berat mangkal. Pandangannya menyapu meja. Bola matanya tertahan pada satu-satunya gelas besar yang bergagang. Segera dihampiri. Cairan kopinya sudah habis. Ada secarik kertas bungkus rokok dibawah gelas. Dibacanya lambat-lambat dengan raut wajah memerah, "Kamsie bro, Lima juta aku pinjem ya..mudah-mudahan aku inget. Lima juta lagi buat si Tinus. Gajinya sekian tahun kau bayar rendah."
"Kuuraang ajaar kau ya..!" geram Luki setengah berteriak. Kemudian berbalik dan dengan cepat tangannya merebut segelas besar kopi tubruk dari tangan pelayan angkringan. Kemudian secepat kilat menyiramkan ke satu arah.
Terkesiap sang perokok berat. Badannya basah kuyup tersiram kopi yang sudah dingin. Tangannya yang tersentak berkelit menghalau, malah menampar gelas kopi di atas meja kecil sebelah dipan. Dia segera terbangun dari lelap siang itu. Uang-uang kencang itupun turut lenyap.
"Aku harus mencari Luki..Tinus.. Siapa mereka ya.." desahnya lirih. Memandangi gelas besar bergagang yang tergeletak di kasur berlumur ampas kopi. ***

Komentar