Sosbud | Mengenang Sars 2002, Waspada dan Berdoa
Masih teringat jelas saat virus Sars merebak tahun 2002. Saat itu saya masih bujang. Masih belajar mengais rupiah. Menjadi broker. Mengulurkan bantuan pada seseorang dan mendapat ucapan terima kasih disertai lembaran rupiah.
Masih juga teringat jelas, saat itu saya berhasil membantu seorang pengusaha konveksi. Yang usahanya saya anggap sudah kocar kacir. Mencairkan sejumlah dana pada sebuah lembaga keuangan non bank.
Masih juga teringat saat pencairan dana, rasa terima kasihnya diungkapkan berkali-kali. Disertai rangkulan dan jabatan tangan yang begitu erat. Saat itu saya merasa bak penyelamat dalam hidupnya.
Sebut saja Pak Tiam. Pemiliki usaha konveksi berskala besar. Melayani ekspor ke berbagai negara. Gedung kantornya berlantai lima. Gudangnya luas. Tiga unit bangunan besar. Semuanya gudang.
Saat bertemu pertama kali itu, Pak Tiam hanya ditemani seorang staf. Seorang ibu setengah baya. Mungkin lebih tepatnya seorang pesuruh. Pegawai rendahan. Selain itu hanya ada seorang satpam yang setia menunggui gedung mentereng itu.
"Itu semuanya gudang. Isinya semua kain. Boleh dilihat. Semuanya hancur. Remuk. Tidak bisa diproses. Kalaupun terlihat utuh, di dalamnya sudah jamuran. Berubah warna. Bagaimana bisa diproses?" ujarnya sambil menunjuk ke arah tiga bangunan besar. Saat pertama kali bertemu di kantor sekaligus tempat produksinya itu.
"Saudara tahu apa sebab mereka membatalkan semua pesanan? Sars! Virus Sars! Mereka khawatir kain-kain itu membawa virus ke negaranya. Padahal saudara juga tahu kita di sini tidak ada yang kena. Apalagi sampai korban meninggal," ujarnya seperti tidak tahu siapa yang hendak disalahkan.
Hampir semua pesanan dari berbagai negara dibatalkan. Sementara barang pesanan yang bertumpuk-tumpuk, sudah disiapkan berbulan-bulan sebelumnya.
Pak Tiam mungkin boleh dibilang mahir berbisnis. Dia mencari untung lebih dari selisih waktu. Tentu ada selisih harga yang menggiurkannya.
Namun faktor virus, benar-benar tidak masuk dalam perhitungannya. Yang kemudian menghempaskannya sedemikian rupa.
Di lantai dasar dan lantai dua gedung megah itu, puluhan mesin jahit dan mesin obras rapi berderet. Tanpa ada yang mengoperasikan. Semua tenaga kerjanya sedang dirumahkan.
Kala itu pengakuannya, semua bank menutup diri. Dana operasional sudah habis. Beruntung semua pegawainya sudah diberi pesangon.
Mendengar itu semua, saya hanya mangut-mangut saja. Berusaha dengan cepat memahami. Merasa tidak habis pikir saja. Saya memang mendengar berita tentang virus itu. Dari televisi dan perbincangan orang-orang. Namun akibat yang ditimbulkan baru saat itu saya merasakannya. Iya, baru dalam gedung megah itu.
Di luar gedung megah itu, kehidupan masyarakat berjalan normal. Biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Jalanan tetap ramai. Pasar-pasar tetap buka. Orang-orang mengunjungi warung makan dan menghampiri pedagang kaki lima. Obrolan orang-orang penggiat malam pun tetap ramai di kedai-kedai dan tempat hiburan.
Namun sekarang, tiba-tiba saya mempunyai pikiran aneh. Tentu sang virus Sars saat itu, delapan belas tahun yang lalu, menyaksikan saya menikmati komisi yang lumayan besar dari keterpurukan seorang pengusaha.
Apakah mungkin sang virus kecewa? Oleh karena saya tidak berterima kasih pada sang virus? Kemudian dia mengirimkan kawannya, Covid-19 yang lebih menyeramkan agar saya turut terhempas?
Ah.. Saya tidak mau berandai-andai. Lebih baik waspada dan selalu waspada. Karena kalau cerita ini sampai dibaca oleh para penjahit pembuat masker, peracik disinfektan apalagi beberapa waktu yang lalu begitu banyak hadir para penimbun masker medis..huh..sungguh unik doa-doa terpanjatkan. Hehe***

Komentar