Humor | Gelintir
"Rasuli sedang duduk santai. Punggungnya rebah menempel di kursi plastik pelataran depan sebuah warung kopi. Pandangannya lurus ke depan. Seperti sedang memikirkan sesuatu," ujar Mukhson sambil bergaya bak seorang sutradara film tanpa naskah.
Tuturnya berlanjut, "Telapak tangan kanannya menopang sebagian dagu dan menutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."
"Kaki kiri menopang kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Secangkir kopi tubruk menemani. Tanpa penganan," ujarnya mengakhiri dengan nada yakin. Suaranya berwibawa mirip seorang calon sekretaris desa.
Itulah sebagian kalimat pembuka yang sedang digambarkan Mukhson. Setelah merasa cukup yakin, kemudian dia memberi tanda jempol pada Rasuli. Menandakan adegan siang itu sudah selesai.
Rasuli menarik nafas lega. Berdiri dan kemudian meregangkan lebar kedua tangan. Mirip induk ayam yang sedang melindungi anak-anaknya. Tentu dia pegal.
Nioma, putri sulung Mukhson memperhatikan sejak awal. Dia begitu antusias menyaksikan ayahnya bersedia membantu. Dia mendapat tugas dari sekolahnya. Tugas dari guru bahasa Indonesia.
Tugas yang lumayan berat buat Mukhson. Dia merasa berat karena sudah membayar penuh uang sekolah anaknya itu. Mengapa masih direpotkan lagi?
"Mana kata 'gelintir'nya bopo? Tugasnya harus menyertai kata itu. Harus ada kata 'gelintir'...bopooo...," ujar Nioma bertanya dengan suara seperti diseret-seret. Mukhson tidak mengerti mengapa suara anaknya bisa seperti itu. Dia tidak menyukai gaya bicara anaknya itu.
"Naah..itu..itulah tugasmu. Kalau sampai bopo isi kata itu, trus apa tugasmu? Hayo kamu pikir sendiri ya..," sahut Mukhson seperti tidak ingin anaknya terima beres.
Setidaknya harus ada usaha dari dirinya. Begitulah dia mendidik Nioma.
Menyadari tugas belum sepenuhnya selesai, Nioma segera meninggalkan mereka berdua.
Menjelang sore, Nioma menemui ayahnya lagi. Menyerahlan hasil tugasnya. Rasuli sudah tidak terlihat. Dia sudah pulang.
"Ah..masa bopo yang baca? Hayo kamu yang baca, bopo dengarkan..," ujar Mukhson senang akhirnya sang anak bisa menyelesaikan tugas. Dia memang khusus menggunakan panggilan 'bopo' agar kesan njawani masih mampir di telinganya.
Nioma menarik nafas dalam-dalam. Tugas dalam secarik kertas segera dibaca.
"Rasuli Gelintir sedang duduk santai. Punggungnya rebah menempel di kursi plastik pelataran depan sebuah warung kopi. Pandangan pak Rasuli Gelintir lurus ke depan. Seperti sedang memikirkan sesuatu," ujar Nioma dengan nada dan tekanan kata semirip ayahnya.
Ceritanya berlanjut, "Telapak tangan kanan Pak Rasuli Gelintir menopang sebagian dagu dan menutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."
"Kaki kiri menopang kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Secangkir kopi tubruk menemani Pak Rasuli Gelintir. Tanpa penganan," ujarnya mengakhiri dengan nada sewibawa sang ayah. Tidak terdengar lagi gaya bicara yang menyeret-nyeret. Benar-benar lenyap.
Mukhson tertegun menyaksikkan anak yang sangat disayanginya itu. Isi kepalanya berkecamuk. Rasa senang, kesal, sedih, marah, bahagia, runyam bercampur menjadi satu.
Belum genap Mukhson menikmati rasa isi kepalanya itu, tiba-tiba saja Rasuli menepuk pundaknya.
"Wah..Son...mengapa namaku jadi panjang?" ***

Komentar