Cerpen | Insting Ibu dan Nasionalisme Ayah

Untuk turut memberi jejak pada Hari Perempuan Sedunia, terbersit menuliskan perjalanan hidup mendiang Ibu sendiri. Perjalanan hidup yang berliku dan jauh dari kata landai. Setidaknya bagi saya. Tentu dimaksudkan agar saya lebih larut dalam memaknai hari besar ini.

Ibu terlahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Dua kakaknya laki-laki. Dua adiknya, lelaki dan yang paling bungsu perempuan.

Masa kecil  banyak dihabiskan membantu nenek berjualan sayur kecambah di pasar tradisional. Tentu selepas sekolah. Masa itu disebut sekolah rakyat.

Tamat sekolah rakyat, ibu tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena keterbatasan biaya, ibu mengalah dan memberi kesempatan kepada saudara lelakinya untuk melanjutkan pendidikan. Paling sulung hingga sekolah menengah atas dan satu kakaknya berhasil sampai strata dua di Belgia.

Jodoh mempertemukan ibu dan ayah. Usia 20 tahun beliau menikah dengan ayah yang saat itu berumur 25 tahun.

Awal mengarungi kehidupan berumah tangga berjalan datar. Seperti keluarga kecil pada umumnya. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu melanjutkan kebiasaannya berdagang sejak kecil. Sementara ayah mengajar menjadi seorang guru sekolah rakyat. Sambil menimba ilmu di perguruan tinggi setempat.

Masa itu ayah tertarik berpolitik. Senang berorganisasi. Bahkan sebelum menikah ayah sudah memilih masuk dan menjadi pengurus tingkat desa di salah satu partai politik.

Saat sudah mempunyai satu anak perempuan. Iya, kakak saya yang paling sulung sudah lahir. Mulailah drama kehidupan ibu memasuki gejolaknya.

Gestok pecah. Orde baru menyebutnya sebagai G30S/PKI. Gerakan 30 September yang berdarah itu. Situasi politik runyam. Masa itu sudah tidak bisa memastikan mana kawan dan mana lawan. Tergantung perasaan yang menyelinapi relung hati. Asal merasa tidak suka, saudara bisa menjadi musuh. Kawan bisa menjadi lawan.

Memahami situasi yang sedang terjadi, ayah mengambil tindakan cepat. Lari. Tanpa pamit tanpa memberi tahu siapapun. Bahkan ibu pun tidak diberi tahu. Ayah pergi hanya membawa ijasah saja. Beruntung ijasah sarjana mudanya turut dalam pelarian.

"Hanya ijasah senjata ayah masa sesulit itu," ujar ayah suatu ketika saat saya beranjak dewasa.

Sepeninggal ayah, ibu menghadapi situasi sendiri. Bersama bayi yang baru berumur tiga bulanan. Segerombolan massa beringas datang berkali-kali mencari ayah. Rumah gedeg beratap jerami ditusuk-tusuk dengan tombak. Mengira ayah bersembunyi. Ibu yang sedang menggendong bayi, dikalungi celurit. Didesak agar mengatakan di mana keberadaan ayah. Situasi antara hidup dan mati.

Kalau saja ayah pamit pada ibu dan mengatakan akan pergi ke mana, tentu ibu akan mengatakannya pada gerombolan massa itu di saat celurit bicara. Ini rupanya siasat yang tepat dari ayah.

Selang beberapa lama gerombolan massa itu sudah tidak datang lagi. Mereka mengira ayah mungkin sudah mati. Lagi pula mereka sudah mendapat gantinya. Yakni kakak kandung ayah sendiri dijemput paksa dari kediamannya jauh di luar kota. Entah dibawa ke mana. Hingga tidak pernah ada kabar beritanya.

Sekian lama tidak ada kabar berita dari ayah, akhirnya ibu kembali ke rumah lajangnya yang hanya tetangga desa. Tetap berjualan agar bisa hidup dan menghidupi sang bayi. Hari-hari dilalui dengan tetap tersenyum. Senyum kelabu.

Harapan dan doa setiap detik terpanjatkan semoga ayah masih hidup dan bisa berkumpul kembali. Gayung bersambut. Doa dan harapan didengar.

Lima tahun kemudian, melalui sepucuk surat menyiratkan ayah masih hidup. Di ibu kota. Alangkah bahagianya ibu saat itu. Serta merta ibu mempersiapkan segala sesuatunya untuk berangkat menemui ayah.

Di ibu kota rupanya ayah sudah berhasil menamatkan penuh strata satunya. Di universitas negeri pula. Sudah menjadi dosen serta peneliti. Ayah rupanya sudah menjadi seorang arkeolog. Menulis hasil penelitian dan terpublikasi di dunianya.

Ada kenangan saat ibu pertama kali dijemput ayah di ibu kota. Di pusat kota. Kediaman ayah rupanya sangat sederhana. Menyewa satu ruangan. Di dalamnya ada satu meja, mesin ketik, satu kursi dan satu dipan. Beberapa baju tergantung di paku dinding.

Ibu melihat dipan tertutup tikar pandan.
"Bu..hanya ini saja yang aku punya...," ujar ayah saat itu. Sambil menarik tikar pandan itu. Terlihat bertumpuk- tumpuk buku memenuhi dipan tanpa kasur.

Ibu sudah membayangkan selama ini ayah tidur di mana. Ibu mengetahui ayah sangat menyayangi buku.

Tajamnya Insting Ibu
Dan Nasionalisme Ayah

Mulailah ibu menjalani hidup di kota metropolitan. Hingga lahir saya dan kakak. Kakak sulung mulai bersekolah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.

Ibu fokus mengurus kami. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sementara ayah bersemangat bergulat dengan keilmuannya. Mengabdi sepenuh hati pada negeri yang sangat dicintainya.

Lambat laun kehidupan ekonomi kami membaik. Hingga pada suatu hari ayah membawa kabar. Entah baik entah tidak.

Datang surat dari pemerintah negeri jiran. Malaysia. Ayah dan ibu membahasnya. Surat memang tertuju untuk ayah.

Rupanya surat tawaran bekerja untuk pemerintahan Malaysia. Oleh karena ayah dipandang memiliki kemampuan yang dinilai masih langka di Malaysia.

Bersamaan dengan itu, dari kantor dinas ayah juga ada tugas penelitian ke Australia. Sepulangnya tugas penelitian tersebut, ayah akan mendapat pilihan tugas belajar untuk melanjutkan studi ke strata dua dan tiga. Antara negeri Belanda atau Belgia. Ayah mantap memilih Belgia agar bisa bertemu dengan sang ipar. Kakaknya ibu yang sudah terlebih dahulu di sana.

Ibu menyarankan memilih ke Malaysia. Mungkin karena ibu merasakan getirnya saat dikalungi celurit.

Sementara ayah memilih tugas dari dinas. Disamping agar berkesempatan melanjutkan pendidikan tanpa keluar biaya dari kantong sendiri. Juga menunjukkan rasa nasionalisme dengan mengabdi sepenuh hati pada negeri.

Akhirnya tawaran dari negeri jiran ditolak. Dan berangkatlah ayah ke Australia melakukan penelitian selama hampir tiga bulan.

Tiga bulan berlalu, ayah belum pulang. Hari dan tanggal yang mestinya sudah pulang, ayah belum juga pulang. Ibu merasakan kerisauan yang sangat. Seperti ada yang tidak beres.

Dua tiga kali ibu menanyakan pada kantor dinas, staff kantor hanya menyuruh bersabar. Hingga akhirnya yang kesekian kalinya, ibu datang sampai menumpahkan air mata.

Kepala kantor dinas turut merasakan sedih. Terungkap ayah ditangkap di bandara Halim sepulangnya dari Australia. Saat itu sedang ditahan pihak berwajib. Langsung masuk bui tanpa pengadilan. Dan dipecat secara tidak hormat dari pegawai negeri yang saat itu sudah bergolongan IV.

Belakangan ibu mengetahui selepas mengadakan penelitian itu, ayah dianugerahi award dari pemerintahan Australia. Dan kemudian menjadi berita utama di sebagian besar koran nasional.

Pikiran ibu langsung meluncur kepada gerombolan massa beberapa tahun sebelumnya. Tentu mereka juga membacanya. Oh ternyata.. Apa mau dikata?

Gejolak hidup berikutnya pun dimulai. Tak kuasa menanggung beban hidup dengan empat orang anak. Akhirnya ibu mengajukan permohonan agar penahanan dipindah ke Bali.

Buku-buku dihibahkan ke sejumlah kenalan dan perpustakaan. Hanya buku-buku tertentu saja yang dibawa pulang. Harta fisik diberikan kepada adik ayah yang menjadi tentara serdadu.

Penahanan tanpa pengadilan itu berlangsung selama 33 bulan. 3 tahun kurang 3 bulan.

Ibu membuka lagi pernak-pernik dagangannya. Dan memulai lagi dari nol. Banting tulang menghidupi empat orang anak yang sedang bertumbuh.

Beruntung ada bantuan dana dari Amnesty International sebesar 40DM perbulan. Dikirim melalui wesel pos. Sangat membantu penghidupan saat itu. Bantuan dihentikan saat ayah dibebaskan.

Praktis selepas bui, ayah tidak bisa menggunakan ilmunya. Kendala rezim yang sudah mencampakkannya. Akhirnya tumpuan hidup kembali kepada ibu.

Perlahan namun pasti ibu sanggup menghidupi kami. Menyekolahkan kami. Tentu juga dengan pemikiran-pemikiran brilian dari ayah.

Ibu seakan-akan tidak pernah punya waktu hanya untuk sekedar bersantai. Hari-harinya dipenuhi dengan kerja dan kerja.

"Ibu sudah tahu Jakarta. Ibu sudah pernah berjalan di kota besar itu. Itu sudah cukup buat ibu. Sekarang saatnya ibu harus kerja keras lagi," demikian sahutnya saat kami anak-anaknya mengajak hanya sekedar ke pantai.

Hingga akhir hayatnya ibu masih memberi kesan mendalam akan kerja keras itu. Di rumah, beberapa saat sebelum menghembuskan nafas, ibu masih memikirkan pekerjaan yang biasa dikerjakannya.

Tenanglah di alam sana ibu..cita-cita dan perjuangan ibu takkan sia-sia. **

Komentar

Postingan Populer