Cerpen | Subagyo, Senyum dan Kerasnya Hidup
Subagyo yang saya kenal adalah seorang yang dingin dan sepi. Tinggalnya di gang sebelah warung. Kos bersama istri dan dua orang anak tiri. Benar, dia mengawini seorang janda beranak.
Dia berperawakan tinggi. Melebihi tinggi badan saya. Kurus. Membiarkan rambut kepalanya tumbuh hingga sebahu. Sering dibiarkan bebas terurai.
Kaosnya selalu berlengan panjang. Mungkin untuk menutupi tatto yang melumuri kedua lengannya.
Subagyo adalah salah satu dari sekian banyak pelanggan yang tinggal dekat warung. Tidak ada kesan berlebihan yang sanggup dia tampilkan. Kecuali dingin dan sepi itu. Juga tidak pernah terlihat mengumbar senyum apalagi kalimat yang berpanjang-panjang.
Kecuali pernah sengaja saya menyuruhnya untuk tersenyum. Entah mengapa pagi menjelang siang itu, saya ingin melihatnya tersenyum.
"Bro..hari ini agak redup. Orang-orang lalu lalang tergesa-gesa seperti ada yang mengejar. Tegur sapa belum sekalipun terdengar hari ini. Biasanya Ibu Soto di depan itu melempar senyum. Namun sepertinya jam segini dia belum kembali dari pasar. Bagaimana kalau bro yang mengganti senyumnya? Boleh?"
" Hehe..sampeyan bisa saja...," sahutnya sambil tersenyum. Kemudian ngeloyor pergi setelah membayar sebungkus rokok.
"Setiap manusia tentu punya urat dan saraf untuk diperintahkan tersenyum. Akhirnya aku bisa menggerakan saraf senyumnya yang mungkin akan beku itu. Hehe..," gumam senang saya pagi menjelang siang itu.
Kedatangan Subagyo berikutnya tetap sama saja. Sepi senyum. Namun tetap membayar kontan. Walau sering kali dengan uang recehan yang dihitung dengan teliti di hadapan saya.
Pernah suatu ketika saat dia membeli sebungkus kopi bubuk berikut gulanya. Uangnya kurang.
"Wah..kurang pak..kurang lima ratus..boleh pak? .. Besok saya bayar kurangnya..," ujarnya penuh harap.
Saat itu saya memberikan. Bukan masalah kekurangan itu. Saat itu baru jelas saya dengar warna suaranya. Agak berat dan sedikit serak.
Maklum selama ini dia hanya membeli rokok dan main tuding saja. Kalimat panjang jarang terlontar. Seakan dia memiliki suara begitu berharga. Mirip suara lima tahunan itu.
Hingga pada suatu malam, "Om..om..om tahu Subagyo? Om kenal Subagyo? Dia merampok toko. Dia tertangkap. Ditembak om..kakinya ditembak. Sekarang dia di kantor polisi..," ujar Lipung pemuda tanggung anak seorang penjual nasi goreng. Tetangga kos Subagyo.
Lipung menyodorkan gawainya. Sejenak saya baca dalam berita online lokal tersebut. Subagyo merampok kasir sebuah mini market beberapa hari sebelumnya. Berbekal celurit. Namun dia tidak segera pergi. Dia menghitung hasil rampokan di area parkir setempat. Naas, reserse dengan cepat datang. Dia melarikan diri. Dan tertembak di satu kaki. Reserse meringkus begitu cepat. Menggelandangnya ke markas.
Dalam gambar terlihat Subagyo yang sempat memberikan saya senyum itu, tidak tersenyum. Duduk di lantai dengan kaki terlentang. Satu kaki terlihat diperban.
Reserse yang mengelilingi terlihat sumringah. Menjadi pahlawan kota penjaga keamanan.
"Sekarang kau aman bro. Di markas polisi itu kau aman. Makan kau terjamin walau ala kadarnya. Setidaknya untuk beberapa hari."
Pikiran saya seperti mulai memahami kerasnya hidup yang dihadapi Subagyo. Dengan sedikit menyitir penggalan kalimat sakti W.S. Rendra.
"Kau harus menata jalan hidup lagi mulai dari markas polisi itu..., agar perjuangan kau benar untuk melaksanakan kata-kata." **

Komentar