Humor | Cukur Gratis dan Bobby Bejat
Masa SMA adalah masa yang menyenangkan. Bertemu kawan baru begitu menyenangkan. Apalagi lawan baru. Ya, lawan jenis yang baru-baru. Sebagaimana sifat magnet. Tergantung kadarnya saja.
Kisah kali ini dibatasi pada kawan baru saja. Kisah pada lawan baru, kalau diulas saat sekarang tentunya sudah beresiko tinggi. Kalau sampai terbaca wah bisa berabe. Salah-salah bisa dapat kenalan baru dengan cara yang unik dan tentu runyam.
Sekolah Menengah Atas yang berhasil menerima kita adalah sekolah favorit. Nomer sekolahnya saja nomer satu. Tentu apa-apanya ya nomer satu juga. Kalau tidak sampai nomer satu, tentu kita juga malas menerima sekolah megah itu.
Dan mulailah kita memasuki kehidupan bersekolah. Tengah semester berlalu lancar. Tidak ada hal-hal yang luar biasa. Sesekali riak kecil membumbui penantian irama speaker bel pulang.
Namun ditengah keterlenaan suasana belajar, tiba-tiba ada razia rambut panjang. Razia khusus murid lelaki yang kelebihan rambut. Seluruh murid baru diperiksa tiap-tiap kelas.
Kita kena. Semua ada delapan orang murid. Digiringlah kita ke ruang guru. Disiapkan tempat agar leluasa seorang calon tukang rambut yang tidak pernah mencukur, berlatih memotong. Calon tukang rambut yang sekaligus nyambi sebagai wakil kepala sekolah.
Mungkin oleh karena masih calon tukang rambut, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, memastikan posisi kuping. Posisi telinga semua terdakwa. Maksudnya bagus agar tidak sampai terpotong.
Maka kemudian keenam belas daun telinga ditarik dengan keras. Hingga kita mengaduh sebagai tanda bahwa itu benar adalah helai daun telinga.
Dan mulailah aksi potong rambut ala kadarnya. Tanpa kain pelindung. Tanpa kaca. Kitalah yang menjadi kaca buram untuk kawan yang sedang menjalani perawatan rambut.
Bobby, adalah nama sebenarnya. Dia yang pertama kali duduk di kursi cukur. Dia kawan sekelas saat SMP. Kawan yang cerdas. Karena saat ditanya mengapa sampai berambut panjang. Dengan ringan dia menjawab, "Agar isi kepala saya tidak lekas menguap pak.." wakil kepala sekolah mangut-mangut. Wajahnya menyeringai seakan tergores oleh jawaban Bobby.
"Sekarang aku akan menguapkan isi kepala kau itu..heh!" mungkin demikian pikiran sang wakil kepala sekolah. Karena terlihat dengan agak beringas memainkan gunting kertas menyambar-nyambar berputar di kepala Bobby.
Pertanyaan berikutnya terlontar saat gunting morat-marit mencabik-cabik rambut lurusnya.
"Dari SMP mana kamu..?"
"... SMP 5...pak.." sahut Bobby polos sambil menunduk seakan menghindari gunting yang menari-nari tidak karuan.
"Kau sudah mempermalukan SMP mu. SMP 5 itu, sekolah bagus. Guru-gurunya bapak kenal semua. Bisa bapak laporkan kau ke sana," ujar sang wakil kepala sekolah yang galak itu.
Kami bertujuh tiba-tiba saling menoleh. Semua tahu Bobby adalah bekas anak SMP 1. Dari delapan terdakwa, enam orang berasal dari SMP 1. Sisanya SMP 5 dan SMP 3.
Lima murid gondrong alumni SMP 1 terkaget. Sebagian terlihat mengangguk-ngangguk. Alumni SMP 5 melengos. Seperti geram. Tangannya terlihat mengepal.
Entah mengapa pagi yang tenang itu terasa panas menyengat. Semburat perang batin di antara mereka. Iya perang batin yang sudah jelas siapa pemenangnya.
Tiga alumni SMP 1 menambah coreng SMP 5. Dua sisanya mencoreng SMP 3
Wakil kepala sekolah menggeleng.
"Mengapa kalian berandalan seperti ini?..kalian sudah merusak nama baik SMP kalian! Mau jadi apa kalian ini hah?!" hardiknya keras.
Kemudian beliau memanggil dua sisanya.
"Hey..sini kamu..duduk!" ujar pak wakil tegas.
Saking panasnya kepala di dalam ruangan sejuk itu, kedua sisanya menyahut berbarengan.
"Iya..pak...saya dari SMP 1 pak..benar pak saya tamatan SMP 1...iya..SMP 1 yang dekat alun-alun itu pak.. Saya tamatannya...,"ujar sang murid berulang kali dengan nada yang jelas dan intonasi yang berat, padat dan tebal.
"Hah?... Apa?.. Kau bangga?.. Kau berandalan kau bangga?...SMP 1?..waduh..itu SMP top! Kau sudah merusaknya," ujar pak wakil seperti kecewa.
Bobby, sang pemicu kerunyaman hanya tertunduk. Rambut kepalanya amburadul. Memandangi lantai yang berserakan dengan rambut. Sesekali pandangannya menyapu dinding ruang guru. Matanya tertahan pada sebuah lukisan yang tergantung. Lukisan Ki Hadjar Dewantara.
"Terlalu kau.. Bob...," seperti berujar sang lukisan padanya. ***

Komentar