Cerpen | Tole, Jaya dan Celeng

"Hey.. Kade..siapa nama ayahmu?" tanya Samudji sesaat setelah menyerahkan uang kembalian.

"Apa om? Nama ayah saya?.. Tole.. Om.. Iya namanya Tole..semua orang memanggilnya Tole..masa om ndak tahu? Ayah saya terkenal di sini om.." sahut Kade bangga bercampur cengengesan. Karena nadanya terdengar meninggi bercampur gaya asalan anak kampung.

Kade adalah anak bungsu Tole yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Sementara Tole dikenal luas sebagai preman kampung. Memelihara rambut gading berkilau dan juga mempunyai badan kurus namun penuh sketsa coretan tatto.

Samudji merasa belum puas dengan jawaban Kade. Pertanyaan pun diulang. Dipertegas.

"Bukaan..bukan nama itu..kalau Tole ya..semua tahu. Om juga tahu. Maksud om, nama bagusnya. Nama sekolahnya...oh iya.. Ayahmu sudah selesai sekolah ya...hmm...Masa ayahmu tidak punya nama bagus?"

Samudji belum kehabisan akal, kalimatnya berlanjut.

"Seperti kau.. Nama panggilan kau Kade Blekok..kalau di sekolah, masa gurumu memanggil Kade Blekok?... Ndak khan? Guru pasti memanggil nama bagusmu.. Iya khan?"

Air muka Kade berubah. Oksigen seperti mengaliri deras isi kepalanya.

"Ooh..itu..iya..saya tahu..ya..ya..ya..di kartu sampah di rumah ada nama Pak Jaya..iya..om...pasti itu nama ayah saya..," ujarnya seperti gembira. Mungkin baru pertama kalinya ia mengetahui kalau ayahnya punya dua nama.

Percakapan yang lumayan padat. Untuk ukuran seorang pembeli yang masih ingusan dan hanya membeli beberapa butir gula-gula.

Namun Samudji senang sudah mengetahui nama asli sang preman kampung. "Lumayan buat jaga-jaga," pikirnya sesaat setelah Kade Blekok berlalu.

Hari yang tidak ditunggu itupun tiba. Tole bertandang mengunjungi warungnya. Dari mulai memarkir sepeda motor, Samudji sudah mengetahui kedatangan sang preman kampung.

Selangkah sebelum memasuki warung, Tole berteriak.

"Heeeyyyy....Celeeeng...mau ke mana kau?" dia meneriaki seorang kawannya yang sedang lewat.

Kawannya itu menyahut hanya dengan menunjuk arah utara. Arah tujuannya.

"Wah..hebat pak Jaya ini..kawannya celeng...maksud saya..pak Jaya.. bisa berkawan dengan celeng...," sapa Samudji begitu Tole sudah memasuki warung. Sapaan yang berbahaya. Samudji sedang menguji ilmu psikologinya.

Dia yakin pak Tole tidak akan tersinggung berat. Dia merasa sudah menyentuh hatinya.

"Hey..apa kau bilang tadi? Celeng? Aku berkawan dengan celeng? Dia itu kawanku. Badannya besar mirip celeng. Apa salahnya dipanggil celeng?..dia juga mau dipanggil celeng...bukan berarti aku berkawan dengan celeng ya..hati-hati kalau bicara..." ujar sang preman panjang lebar. Nadanya naik turun. Mirip pitutur seorang guru.

Samudji merasa agak getir. Namun beberapa saat kemudian nada sang preman melemah.

"..Ngomong-ngomong dari mana bapak tahu nama saya?...Dari saya kecil sampai sekarang, sampai punya dua anak, orang-orang selalu memanggil saya Tole...om Tolelah.. Bapak Tolelah...mas Tolelah..kang Tolelah..bahkan istri dan kawan anak-anak saya kadang memanggil saya dengan Tola Tole saja...hmm..," terdengar seperti curhatan. Sesekali sang preman menghela nafas.

Samudji tekun mendengar. Tutur sang preman kembali berlanjut.

"..Baru bapak tadi memanggil dengan nama saya. Rasanya aneh saja. Seumur hidup baru kali ini saya mendengarnya.. Senang juga ya mendengar nama sendiri...hehe.." ujarnya dengan sedikit melepas senyum.

Siang itu seperti siang-siang yang lain. Biasa saja. Namun ada rasa pekat yang menyelimuti dua manusia. Samudji berhasil membuktikan pengetahuan psikologinya. Dan Tole merasa berjaya sudah ada yang mengakui keberadaan namanya. ***

Komentar

Postingan Populer