Cerpen | Aspal Paving Reformasi

Dua puluh sembilan tahun silam, seorang Guide, pengantar tamu asing bercerita.

Suatu ketika, seorang tamunya dari  Eropa, mengatakan bahwa Indonesia ini negeri yang kaya. Negeri yang tidak kurang suatu apapun. Semua yang dibutuhkan sebagai sebuah bangsa, sudah tersedia.

"Anda tinggal mengolahnya saja," ujar Sang Tamu kala itu.

Dia sudah mengunjungi banyak tempat wisata di Pulau Jawa, Bali, Lombok sampai ke Flores. Sempat pula mengunjungi Pulau Samosir. Pulau di tengah Danau Toba. Bahkan Wisata Bahari Bunaken di Sulawesi Utara.

Jalan-jalan yang dia lalui semuanya sudah beraspal. Bahkan sampai ke pelosok desa. Masyarakat yang setiap kali dia jumpai, selalu tersenyum. Bahkan menyapa. Tak pernah sekalipun dia menjumpai orang yang terlihat tidak bahagia.

Sang Guide tertarik pada jalan aspal yang diceritakan. Beberapa saat mereka membincangkan itu.

Dia mengatakan, di negerinya walau dikenal sebagai negeri maju, hanya jalan-jalan utama yang beraspal. Jalan-jalan di pusat kota. Juga jalan antar kota. Tentu karena di samping lebih rapi, aspal membuat nyaman dalam berkendara. Kendaraan  juga tidak cepat rusak. Selebihnya banyak menggunakan beton ataupun paving.

Negerinya tidak menghasilkan minyak bumi. Bahan asal aspal. Sulingan ke-9, sulingan yang terakhir dari minyak bumi akan menghasilkan residu atau disebut juga aspal. Jadi mesti didatangkan dari negeri seperti Indonesia. Dan juga negeri-negeri penghasil minyak bumi lainnya.

Sampai di sana Sang Guide paham. Dia mengerti. Kalau benar ucapan tamunya itu, berarti negerinya tinggal memerlukan tukang olah saja. Kalau belum bisa ngolah, ya belajar dulu. Masa tidak bisa?

"Masa harus saya?" Sang Guide menerawang jauh.

Lepas jauh dia bercerita, bangsa Indonesia mengalami pergantian era. Era Orde Baru tumbang. Berganti ke Era Reformasi.

Orang-orangnya pun berganti. Sebagian yang masih dianggap bersih tetap bertahan. Sebagian lainnya ke luar garis.

Rakyat menaruh harapan besar pada wakilnya melalui pemilu. Ini terjadi di seluruh wilayah negeri ini. Termasuk juga di wilayah Sang Guide berada.

Para wakil rakyat sumringah mendapat kepercayaan itu. Melangsungkan prosesi pelantikan yang megah. Mengucap sumpah. Dan akhirnya bekerja. Bekerja di era baru.

Sering kali Sang Guide membaca berita di surat kabar lokal, kalau wakilnya itu dan wakil-wakil rakyat yang lain melakukan studi banding ke luar negeri. Ada harapan besar di kepalanya.

"Rupanya saya tidak salah pilih," pikirnya kala itu.

"Apakah Bapak mengetahui latar belakang wakil yang dipilih saat pemilu kemarin?" Kawan sejawatnya sempat menanyakan itu belasan tahun silam saat melihat Sang Guide kecewa.

"Persisnya ya tidak mengetahui. Tapi ya masa tidak percaya KPU?" sahutnya kala itu.

Kala itu Sang Guide sudah pensiun kerja. Dia sempat melewati pusat kota. Paving memenuhi berapa jalan. Bahkan di depan kantor pemerintahan pun dipasang paving.

Berkendara sudah tidak nyaman. Beberapa bagian pavingnya pun terlihat sudah rusak.

Sang Guide pun hanya bisa menelan ludah. Apalagi beberapa waktu kemudian dia membaca berita tentang kasus ijasah palsu anggota dewan. Mendengar juga anggota dewan yang masa lalunya seorang preman.

Dia ingin tertawa terbahak-bahak. Menyaksikan lelucon di negeri kaya ini.

Teringat kembali dia pada Chris Gustaff. Tamunya dua puluh sembilan tahun yang lalu.

"Seharusnya syarat menjadi anggota dewan itu mesti jadi Guide dulu," desisnya di bawah pohon besar depan Pasar Rakyat. **

Komentar

Postingan Populer