Sosbud | Berbudaya Kiat Dalam Mencapai Tujuan
"Budaya tidaklah sinonim dengan sains, sastra, atau bidang spesialisasi lainnya, namun sebuah cara memandang hal ihwal, sebuah pendekatan yang mampu menangkap apapun yang berkaitan dengan manusia."— Mario Vargas Llosa, The Storyteller
Dalam lelakon hidup, penting adanya kiat dalam mencapai suatu tujuan. Baik itu tujuan berskala kecil, sedang hingga berskala besar. Tulisan ini bukan bermaksud menggurui. Semata-mata ingin berbagi sudut pandang saja.
Kiat-kiat diperoleh dari rangkuman hidup hingga sekarang berusia 45 tahun. Merekam dan mengambil hikmah dari para pelaku sejarah, politikus, birokrat, pelaku seni, pekerja dan penggiat sosial, hingga masyarakat umum.
Kelima kiat mesti utuh terpenuhi agar mencapai tujuan yang maksimal.
Kiat-kiat tersebut adalah;
1. Berani
Ini kiat yang paling vital. Mutlak harus terpenuhi. Tanpa ada keberanian, apapun tidak akan terjadi.
“Ketakutan akan penderitaan lebih buruk daripada penderitaan itu sendiri… tidak ada hati yang menderita ketika berada dalam pencarian akan mimpi-mimpinya.“– Kutipan dari The Alchemist, sebuah novel bestseller karya novelis Paulo Coelho
2. Cakap atau Pandai
Kecakapan memegang peranan penting. Segala permasalahan dalam pencapaian tujuan memerlukan kecakapan untuk menghadapinya. Kecakapan umumnya diperoleh melalui jenjang akademik. Dan pengalaman di masyarakat.
"Tak ada yang tiba-tiba bagi calon pemimpin bangsa, kecakapan bukan salinan genetika."—Najwa Shihab, presenter berita, jurnalis.
"Janganlah menjatuhkan diri ke dalam kesesatan dengan mengira, bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat."—Tan Malaka, aktivis kemerdekaan, filsuf.
3. Disiplin, Sikap.
Kedisiplinan dan bersikap menjadi faktor penting dalam pencapaian tujuan.
" Keunggulan pemenang bukan dalam kelahiran yang mulia, IQ tinggi, atau dalam
bakat. Keunggulan pemenang hanya berada dalam sikap, bukan kecakapan. Sikap adalah kriteria untuk sukses. Tetapi Anda tidak bisa membeli sikap dengan uang sejuta dolar. Sikap tidak dijual."—Denis Waitley, motivator Amerika.
4. Bersosialisasi. Adalah interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Sejauh mana masyarakat mengenal secara baik pribadi dan mentalitas seseorang.
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali." - Tan Malaka, aktivis kemerdekaan.
5. Berbudaya. Merupakan kesempurnaan dalam pencapaian tujuan. Berbudaya merupakan darah nadinya kehidupan. Peradaban lahir dari budaya yang adiluhung. Saking pentingnya kesempurnaan itu, sang bijak bahkan berpesan;
"Pendidikan bisa memberi Anda keahlian, tetapi pendidikan budaya mampu memberi Anda martabat."—Ellen Key, Penulis, pendidik dan feminis dari Swedia 1849-1926.
"Orang tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu, asal usul, dan budaya mereka seperti pohon tanpa akar." —Marcus Garvey
"Tidak ada budaya dapat hidup jika mencoba untuk menjadi eksklusif." —Mahatma Gandhi
"Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal." —Sujiwo Tedjo, pelukis, penulis, budayawan.
Berikut adalah beberapa contoh figur yang sempat tertangkap dalam kiat-kiat tersebut baik terpenuhi ataupun tidak. Semata-mata menurut kacamata penulis;
*Soekarno, pelaku sejarah.
Proklamator, Presiden RI pertama. Lima kiat terpenuhi. Hampir seluruh penduduk bumi tentu pernah mendengar namanya. Keluar masuk bui sudah sejak belia. Faktor berbudayanya sangat mengagumkan. Mengikhlaskan kekuasaannya terengut oleh karena menghindari adanya perang saudara. Soekarno sepenuhnya menyadari. Melenyapkan romantisme dialektika berbangsa adalah dosa besar yang tak termaafkan.
* Soeharto, pelaku sejarah.
Presiden kedua RI. Semua kiat terpenuhi. Semua pasti setuju. Terutama kiat kelima. Saat panen raya, dia turun ke sawah tanpa alas kaki, nyeker. Beda dengan Megawati yang beralasan papan. Keuntungan ikatan emosional rakyat yang diperoleh saat itu oleh kedua figur tersebut tentu kadarnya berbeda. Walau kemudian budaya pulalah yang membuatnya jatuh dari kekuasaan dengan meninggalkan reruntuhan perekonomian berbalut budaya korup.
* Sri Bintang Pamungkas, politikus.
Pendiri Partai PUDI. Partai Uni Demokrasi Indonesia. Orangnya jangan ditanya lagi. Urat takutnya sudah putus. Dengan lantangnya menghadang laju rezim orde baru. Bahkan sampai saat sekarang. Kepandaiannya jelas dan tuntas. Sampai strata tiga. Luar negeri pula.
Kedisiplinannya tak perlu diragukan. Bersosialisasi terpenuhi. Namun dia tersandung kiat kelima. Kurang berbudaya. Di mana dia menyebarkan kartu ajakan golput pada anggota dewan di saat hari raya Idul Fitri. Pemilu 1997 silam. PUDI pun semakin tenggelam.
*Ahmad Dani, pelaku seni, musisi.
Keberaniannya aduhai. Cakap jelas. Disiplin tentu. Bersosialisasi boleh. Berbudayalah yang membuatnya tersandung. Kata-kata yang acap terlontar dari mulutnya seakan dia alergi terhadap budaya yang begitu kaya di negeri ini. Dia baru sebatas seniman. Seniman urakan.
*Setya Novanto, politikus.
Empat kiat terpenuhi. Hanya dia kurang berhasil memperkenalkan budaya korupsi. Tersandung.
Contoh yang menunjukkan bahwa kiat pertama, Keberanian adalah mutlak menentukan keberhasilan;
* Seorang anak yang sedang belajar naik sepeda. Tanpa pengalaman. Hal baru dalam hidupnya. Hanya dengan keberanian tanpa empat kiat yang lain, walau jatuh berulang kali dipastikan dia bisa mengendarainya.
* Ibu Rus seorang ibu rumah tangga, dia biasa saja, rata-rata, tidak terlalu pintar. Disiplin. Bermasyarakat juga bagus. Berbudaya tidak mengecewakan. Tapi dia tidak punya keberanian untuk menyetir mobil hanya karena pernah menabrak tembok saat belajar. Tujuannya untuk bisa nyetir tentu tidak tercapai.
Dari paparan tersebut, nyata adanya bahwa keberanian dan faktor berbudaya memegang peranan penting.
Ken Arok misalnya, keberanian dan kecerdikannya terkenal hingga sekarang. Perjalanan hidupnya banyak dikenang. Tercatat dalam sejarah. Berbudayalah yang membuatnya tersandung. Ketidak-sabaran menunggu kelarnya keris pesanan, membuat tumpahnya kutukan legendaris itu.
Marilah mulai sekarang berbudaya. Berbudi dan berdaya. Oleh karena melalui berbudayalah, keberanian, kecakapan dan sikap akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya.**

Komentar