Cerpen | Nasi Doang Jan Parno

Dua keping permen jahe sisa kembalian masih di genggaman. Senyum Jan Parno mengembang lebar. Ini pertama kalinya dia menjejakkan kaki di ibu kota. Sebagai pemuda pelosok, ini sejarah baru perjalanan hidupnya.

"Ini akan kukenang," gumamnya. "Mudah-mudahan manis," lanjutnya lagi. Sembari melesakkan mulut dengan sekeping permen jahe asam manis itu.

Tempat yang akan dituju sudah jelas. Pak Margonda Subekti, juragan rempah-rempah karib Pamannya, membekali peta jalan.

Jalur-jalur mana dan angkutan apa saja yang mesti dinaiki, sudah jelas. Lengkap dengan berapa uang yang harus dia keluarkan. Dia sudah aman. Senyumnya bertambah kuat.

"Sekarang aku harus mencari makan, lapar."
Parno berusaha mencari pandangan lebih luas di tengah kerumuman orang. Kepalanya terlihat timbul tenggelam. Terminal bus antar kota yang sungguh sesak. Matanya menyapu sederetan penjual makanan di sisi barat terminal. Seberang jalan masih di area terminal.

Dia segera melepaskan diri dari kerumunan itu. Tas ranselnya masih melekat kuat di punggung. Beberapa orang dari kerumunan itu memandangnya. Parno tidak memperhatikan.

"Jan, kau mesti berhati-hati. Di terminal itu rawan copet," pesan Pamannya sesaat sebelum berpisah di teras rumah.

Parno masih mengingatnya dengan baik. Bahkan resleting tasnya itu ditambahkan lagi dengan gembok kecil.

Tiba di depan warung nasi, langkahnya berhenti. Tangan kanannya terlihat meraba saku celana bagian belakang. Dompetnya lenyap.

"Kenaa aku! Sial.. Mati aku!"

Jantungnya seakan lepas. Sisa detaknya meledak-ledak. Matanya sontak menoleh ke arah kerumunan tadi. Terlihat sudah lengang.

"Hadduuhhh bagaimana sekarang?"

Tak ada orang yang peduli. Terlihat biasa saja. Lalu lalang orang. Dia enggan berteriak. Telat. Kalau saat kerumunan tadi, tentu ada yang menolong menangkap pencopet itu.

Sekarang? Dia khawatir malah ditertawai. Dikira mengada-ada. Bisa-bisa malah kena gebuk.

Air mukanya yang merah perlahan-lahan mereda. Telepon genggamnya masih ada. Tidak tercopet. Dia bisa segera menghubungi Pak Margonda untuk menjemput. Aman.

"Untung masih ada sedikit," tangannya meraba saku kiri.
Mengeluarkan isinya.
"Aah...cuma lima ribu, gak cukup beli nasi.."

Rasa lapar memerintahkan kakinya harus memasuki warung nasi itu.

"Sepotong roti cukuplah buat mengganjal lapar. Air juga masih ada di tas." gumam menenangkan diri.

"Tambah nasi doang ya buu..lima ribu saja" terdengar seruan seorang lelaki setengah baya. Lelaki yang subur. Tambun. Duduk di meja dekat jendela. Parno melintasinya sembari melempar senyum.

Parno sempat melirik pesanan lelaki itu saat melintas di hidungnya.

"Waw..banyak benar!..cuma lima ribu? Komplit pula. Ada ayamnya, sayur lodeh, telur," gumamnya. Sepintas dilihatnya juga ada dadar udang dibalik nasi. Lauk kegemarannya. Mantap hatinya. Ibu kota yang sungguh bersahabat. Demikian pikirnya. Rasa lapar menggerus akal sehatnya.

"Pesan apa naak..?" tanya Ibu warung. Begitu melihat Parno sudah memilih kursi di sebelah lelaki itu.

"Nasi doang buu..lima ribu saja," tegas dia menyahut. Rasa laparnya sorak sorai.

Ibu warung itu mengulang seakan tidak percaya, "Bener naak.. nasi doang?"

"Iya buuk bener..sudah lapar saya," Parno menegaskan lagi.

Lelaki sebelah itu dengan mulut penuh makanan sempat melirik Parno. Lirikannya menelisik. Disorotnya dari ujung kaki ke ujung kepala. Dipikirnya Parno seorang pendekar yang sedang menjalani ujian. Ditariknya mendekat bungkusan miliknya. Mengamankan.

Pesanan datang. Langsung diletakkan di mejanya.

"Cepat benar, " gumam Parno.

"Silahkan naak.."

Dua detik Parno ternganga. Seperti memberi doa pada piring itu. Sangat jelas dia mengucap nasi doang. Seperti ucapan lelaki sebelah. Mengapa hidangannya jadi beda?

"Ini nasi doang khan Bu?" tanya Parno kepada Ibu warung. Ibu warung mengangguk dan berlalu.

Lelaki itu menggeserkan tempat duduknya memberi Parno ruang yang lebih. Sembari mengamankan piringnya.

Perlahan-lahan diraihnya sendok. Dibubuhinya kecap manis sedikit berlebih. Sambal pun diliriknya.

"Pedas manis sepertinya lebih mudah ditelan."

Terlihat seperti berdoa lagi. Dia menarik nafas dalam-dalam. Memulai suapan demi suapan. Baru pertama kali ini dia mengunyah makanan hingga benar-benar hancur. Lebih mudah ditelan. Dia merasakan seperti bayi lagi.

"Pasti ada yang tidak beres. Apa mungkin karena aku terlihat dari kampung? Lelaki ini juga tidak keren-keren amat. Kaosnya juga kaos biasa. Tidak bermerek. Celananya malah sudah lusuh robek pula lututnya. Aahhh..ini sudah tidak adil," hatinya tak henti-henti berkecamuk.

Disorotinya piring lelaki itu..dipelototi kunyahannya. Pergelangan kakinya geleng-geleng menari.

Tiba-tiba lelaki itu beranjak.

"Buuk sudah buuk...berapa semua? Minumnya teh manis."

Ibu warung mendekat. Sempat melirik Parno.

"Semua dua puluh tiga ribu Pak. Nasi campur lima belas, nasi doang lima ribu, tehnya tiga ribu."

Lelaki itu membayar dan langsung pergi.

Parno terlihat mengangguk-ngangguk dalam. Dia melirik manja roti pisang coklat yang tidak jadi dibeli.

"Kapan-kapan aku akan beli roti doang," pikirnya menelan kunyahan terakhir. **

Komentar

Postingan Populer