Cerpen || Balada Samudji [4] Plastik Oh Plastik

Anas sedari tadi memperhatikan Samudji yang sedang memasang selembar kertas karton putih. Berisi tulisan. Sepertinya dia tulis sendiri. Dia masih ingat gaya tulisan bekas kawan SD-nya itu.

Kertas karton berukuran folio. Dipajang dekat meja kasir. Mudah terlihat dan menarik pula. Tulisannya berwarna warni.
"Tidak Menyediakan Kantong Plastik. Kantong Plastik Dilarang.
Bawalah Kantong Sendiri."
Paling bawah tertera peraturan wali kota setempat. Lengkap beserta nomernya.

"Waah..rupanya sudah tidak boleh pakai tas kresek ya..?" Anas memecah keseriusan Samudji.

"Oh.. Kau bro.., iya bro..orang-orang sudah mulai kewalahan."

"Kewalahan bagaimana maksudmu?" Anas mencoba serius.

"Plastik-plastik itu khan dibikin oleh manusia. Diolah oleh manusia. Awalnya bagus. Terasa manfaatnya. Lama kelamaan, saking banyaknya dan sialnya, akhinya diketahui plastik tidak mudah terurai. Memerlukan waktu puluhan hingga ratusan tahun agar terurai. Apa tidak parah tuh?" Samudji menjelaskan dengan bersemangat. Agar kawannya itu paham.

"Iya benar juga. Aku dengar juga seperti itu," Anas mengiyakan. Kalimatnya berlanjut, "Tapi kalau sudah seperti sekarang mau bagaimana lagi..?"

"Sebetulnya mudah. Hentikan saja produksi plastik. Beres!  Case closed! Tetapi apakah itu akan terjadi? Aku tidak yakin." Kali ini Samudji menerawang.

Pandangannya terlihat hampa namun padat berisi. Anas suka melihat kawannya itu menerawang. Dia sadar akan mendapat ilmu baru. Pengetahuan baru. Dia harus mendengarkan. Dia menunda pulang. Garam beryodium pesanan ibunya masih dalam genggaman.

Samudji lanjut menumpahkan isi terawangannya. Mumpung Anas masih mau mendengar. Dia yakin tumpahannya akan ditelan tak bersisa oleh Anas.

"Kau ingat jaman dulu? Jaman sebelum ada peradaban? Saat itu manusia bumi hanya mengenal beberapa unsur yang terkandung di alam ini. Unsur yang diyakini saat itu pun masih global. Kau tahu unsur?"

Anas mengangguk berusaha terlihat tidak belepotan. Tidak terseok-seok. Kakinya masih tenang berdiri. Kedua tangannya sesekali menyilang memeluk dada.

"Jaman itu manusia bumi baru hanya mengenal unsur sekitarnya saja. Yang dirasakan oleh indranya saja. Air, udara, sinar matahari dan tanah, bumi ini yang mereka pijak. Para ahli sejarah menamai mereka, masa itu sebagai jaman batu tua. Jaman purba," suara Samudji terdengar meyakinan. Suaranya seakan-akan larut ke masa itu. Anas terseret ke dalamnya.

"Jaman berikutnya lebih maju. Jaman batu muda. Unsur api sudah ditemukan. Mereka sudah mulai bercocok tanam." Bola mata Anas sudah mulai memutar. Tanda sudah mulai jenuh. Samudji memahami itu.

"Kau ingat saat kau SMA? Pelajaran kimia? Deret unsur Mendeleyev? Kau masih ingat berapa unsur atomnya saat kau SMA?"

"Iya..iya masih ingat aku..kalau tidak salah 72 apa 78 ya.." sahut Anas dalam keraguan yang bersemangat. Merasa bangga turut melengkapi kekurangtahuan Samudji.

"Sekarang kau tahu? sudah berapa unsur yang disepakati ahli-ahli? Tidak kurang 118 unsur bro!"

"Memang luar biasa perkembangan ilmu pengetahuan. Kau tahu? bahwa plastik, yang kita bicarakan itu adalah hasil olahan dari susunan atom-atom inti. Karbon (C), Hidrogen (H) dan beberapa tambahan atom Oksigen (O), nitrogen (N), Klor (Cl), Fluor (F), dan belerang (S). Dari kombinasi susunan atom tersebut lahirlah ratusan jenis plastik!"

"Nah ratusan jenis plastik itulah yang membuat manusia sekarang kewalahan. Bagaimana tidak..plastik-plastik itu sampai tertelan masuk ke perut ikan-ikan. Mempengaruhi kualitas hidupnya. Biota laut banyak yang rusak oleh sampah plastik. Terganggunya kualitas kesuburan tanah. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menyita perhatian manusia yang peduli bumi ini."

Anas mangut-mangut memahami itu semua. Dia tiba-tiba merasa peduli lingkungan. Merasa harus mengurangi penggunaan plastik. Dia tidak mau ikan koi-nya sampai menelan plastik.

"Nah apa yang bisa kita tarik dari semua itu? Kita mesti bijak. Semuanya sudah tersedia di alam ini. Kalaupun hasil olahan dari alam itu akan bermanfaat, sebaiknya dihitung pula akibat negatif yang mungkin akan timbul. Agar kita sanggup mengatasinya dan tetap memperoleh manfaatnya."
Tak lupa Samudji menarik nafas, "Apa kau mau suatu saat nanti dikenang sebagai generasi plastik? Yang hidup di jaman plastik?

"Ibarat api. Kalau api itu kau olah secukupnya dia bisa memberimu kambing guling yang lezat. Kalau apinya berlebihan kambing kau akan gosong. Bahkan rumah kau pun bisa gosong. Hehe.." Samudji terkekeh menyaksikan Anas tersenyum lepas sementara di belakangnya sang ibunda siap menjewer telinganya. Garam yodiumnya tak kunjung pulang. **

Komentar

Postingan Populer