Cerpen | Kopi Pati

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ketika hidup setia melanglang, ketemu kopi bubuk lain adonannya.

Peribahasa di atas terdengar masih bersahabat kalaulah tetap menjadi peribahasa. Karena kata-katanya teruntai memang diperuntukkan sebagai peribahasa.

Tetapi kalau kemudian untaian peribahasa tersebut dijadikan pantun, tentulah butuh waktu agar nyaman mendarat di telinga.

Pengalaman ngopi di Pati Jawa Tengah, di pesisir pantai utara pulau Jawa menjadi pas buat peribahasa memantun di atas.

Kami berempat, saya, Edy, Luki dan Hafid. Dalam perjalanan jauh dari kota Malang menuju Bandung, sempat mampir di warung kopi. Tengah malam. Melepas penat. Di jalur padat pantai utara pulau Jawa, dua puluh tahun silam.

Ada beberapa warung kopi berderet di sepanjang pinggir jalan besar itu. Area parkirnya luas. Menghadap laut Jawa. Angin malam benar-benar bersahabat. Bertiup semilir saja. Separuh penat sudah enyah begitu kami duduk di bangku panjang menghadap laut. Hawa laut seperti me-ricas kembali energi-energi yang terpakai semenjak dari Malang. Perjalanan melelahkan namun penuh canda tawa.

Edy langsung memesan kopi.

"Kopi empat Buu..."

"Iya..baik naak..ditunggu ya.." sahut Ibu warung.

Edy memang selalu begitu. Tanpa kami angkat, tanpa kami tunjuk apalagi kami lantik, dia selalu berpolah layaknya seorang bos. Seorang kepala suku.

Pastilah karena dia merasa paling berumur. Uangnya lumayan pula. Jadi kami senang saja. Apalagi kami bertiga selalu saja terengah-engah menggapai akhir bulan. Maklum anak kos.

"Ini naak kopinya..silahkan.." Ibu warung mempersilahkan.

Empat cangkir kaca kopi tubruk berukuran besar. Masing-masing diberi sendok. Kami berempat memang penikmat kopi. Terutama Edy. Di Malang, dalam sehari dia bisa nyeduh sampai lima kali. Kami semua perokok. Itu yang menjadi sebab sekalian saja keranjingan kafein.

Selesai mengaduk-aduk kopi, Edy langsung nyeruput.

"Bbrrrgghheer...ffhhgrrg.."

Mulutnya menyembur. Kopi yang terseruput tertolak mentah-mentah. Meja basah tersapu semburan.

"Kenapa Edd??" Hafid mengorek.

"Lu coba sendiri gih.."

Saya dan Luki menunggu situasi. Hafid mencicipi. Wajahnya langsung beringsut. Matanya terbenam. Seperti tersiram pasir.

"Piyee Fid?? Yo opo kopine?" saya penasaran.

"Cobalah.. Neet... Coba sendiri.."

Rasa penasaran memang harus terpuaskan. Akhirnya saya coba. Saya aduk lagi agar rasanya mantap. Agar lebih larut. Bisa jadi mereka bermaksud mempermainkan. Kami berempat memang selalu saja mempermainkan satu sama lain.

"Waw..!"

Baru menyentuh ujung lidah
Rasanya manis benar. Benar-benar manis.

Serta merta Edy memanggil sang empunya warung.

Ibu warung langsung menerka, "Sudah saya kira, naak harus mengaduk perlahan-lahan. Sekali aduk dicicipi dahulu. Kalau manisnya sudah pas, jangan diaduk lagi. Seperti itu nak."

Akhirnya, empat kopi diseduh lagi. Ngobrol sementara senyap. Masing-masing menelateni rasa kopi agar pas. Kemudian lanjut dengan canda tawa.

Dalam laju melanjutkan perjalanan, akhirnya kami memahami. Di kiri kanan jalan yang kami lewati terhampar perkebunan tebu. Sempat pula melewati pabrik gula.

"Pantesan saja...lha wong di sini rumahnya gula.."   **

Komentar

Postingan Populer