Cerpen | Humpimpah Cadas Pangeran
Humpimpah Alai Hum Gambreng! Mempunyai makna "Dari Tuhan kembali ke Tuhan mari Bermain"
Kalimat dari bahasa Sansekerta itu pernah bergema di kegelapan Cadas Pangeran, Jawa Barat. Akhir abad silam.
Perjalanan dari Kota Malang menuju Bandung itu membawa kesan mendalam. Berempat di dalam laju sedan klasik berkelir biru metalik. Buatan Italia keluaran tahun 1974 Fiat 124s. Saya beruntung bisa menikmati kenyamanannya. Sedan legenda. Generasi terakhir. Pendahulunya sejak 1966 merupakan tunggangan wajib para mafioso.
Luki sang pemilik, pemuda Bandung itu, mengakui dirinya memang begitu menyukai model klasik. Ada satu lagi sedan klasik di garasi rumahnya. Tapi itu milik ayahnya. "Sungguh keluarga klasik," pikir saya saat itu.
Edy dan Hafid juga sempat memberi jempol pada kemampuan dan kenyamanannya sedan itu, saat suatu ketika sempat melaju hingga 100 km per jam.
Sedari awal, mulai berangkat dari kota Malang, air radiator sang Fiat sudah terlihat sesekali menetes. Sepertinya tepat di sekitar water pump. Pompa air.
"Ah..tidak masalah..netes sikit-sikit je.. Hayoo berangkat.." ucap Luki dengan suara yakin. Dulu dia sempat nguli di negeri jiran Malaysia. Gaya bicaranya membekas ke mana-mana.
Jawa Timur lolos terlewati. Memasuki kabupaten Pekalongan, kebocoran air radiator bertambah deras. Tiap sepuluh kilometer, air mesti ditambah. Saya, Edy dan Hafid pontang panting melakoninya. Setiap bertemu pompa bensin, mesti mampir. Mengisi persediaan air. Jok belakang semakin lama semakin dipenuhi botol air mineral. Tidak kurang dua puluhan botol bekas siap sedia.
Sesekali saking lelahnya kami beristirahat di area pompa bensin. Melahap di depot-depot yang ada di sekitar pompa bensin. Hingga tertidur di dalam mobil. Saat itu kami benar-benar menikmatinya. Canda tawa tak pernah kering.
Hingga memasuki Cirebon, Jawa Tengah, kebocoran water pump mendapat kawan. Bagian belakang terlihat menetes. Tetesan kebocoran membentuk garis di sepanjang jalan yang dilewati. Sering kali pengemudi yang menyalip sampai memberi tanda dengan menunjuk-nunjuk. Yah mau bagaimana lagi kita cuma membalasnya dengan jempol saja.
Di sebuah pompa bensin masih di Cirebon, "Luk..ini bukan air.." Edy mencolek tetesan dengan telunjuknya dan menciumnya.
Tangki bensin turut bocor. Terlihat sesekali menetes. Sementara air radiator mulai deras mengucur.
"Wah bagaimana ini?" Hafid risau.
"Sudah lanjut saja. Kalau mobil sedang jalan air tidak terlalu deras mengucur karena sedang dalam putaran," Luki berteori. Dilanjutnya lagi dengan suara datar berasa menghibur yang ragu, "Bandung sudah dekat..lumayan jauh sih.."
Perjalanan itu memang tidak direncanakan. Terjadi begitu saja. Berawal dari guyonan. Lebih karena rasa ingin tahu kota Bandung saja. Hafid dan saya sendiri belum sekalipun pernah ke Bandung Perbekalan pun tidak ada. Kami cuma mengandalkan Edy yang selama ini memang terlihat sedikit lebih berdompet. Sementara Edy dan Luki lahir dan besar di Bandung.
Lepas Sumedang, memasuki Cadas Pangeran, hari sudah gelap. Kiri kanan menjulang pepohonan. Sinar bulan terhalang dedaunan. Sesekali berpapasan dengan bus malam penguasa jalanan. Memberi salam dengan lampu tembaknya yang menyilaukan. Bus antar kota dan truk-truk besar turut melirik sang legenda Italia itu, sedan sang mafia terseok-seok di tengah kegelapan tanah sunda. Katup ginjalnya bocor.
Sorot burung hantu menyaksikan dari ranting tertinggi pohon di atas bukit. Seakan-akan selalu mengikuti gerak laju Fiat yang sesekali berhenti untuk menenggak berbotol-botol air. Tiga anak manusia terlihat keluar masuk mobil hanya untuk memberi minum sang Fiat. Mereka sudah terlihat lelah. Canda tawa sudah lenyap.
Tiba-tiba, Braaakk..suara dari arah mesin terdengar kasar. Seperti suara pelat besi berputar-putar. Luki langsung ambil kiri. Kami segera turun. Situasi gelap. Tidak ada penerangan jalan. Hanya lampu Fiat menyorot.
Daun kipas menghantam dinding radiator. Posisi kipas terlihat miring. Pompa air jebol. Air mengucur deras dari sela oblaknya. Hingga habis selang beberapa detik.
"Untung kau cepat berhenti Luk, kalau tidak radiatornya bisa kena. Bisa bocor juga.." ujar Edy dengan suara serak lelah yang sangat.
"Sekarang bagaimana? Mana sudah malam. Di hutan pula. Dingin benar" Hafid mencoba menggambarkan situasi.
"Aku harus menelepon rumah. Agar papi tahu kondisi kita." ujar Luki menenangkan.
Saya baru tahu kalau Luki memanggil ayahnya dengan sebutan papi. Bukan bagaimana. Terkesan kurang sangar saja. Karena dari kami berempat dia yang terlihat paling keren. Paling ngganteung. Mirip Luki Alexander pemeran utama film layar lebar 'Catatan si Boy' . Terlebih dia memelihara janggut yang menggumpal tirus pendek mirip punyanya mendiang Ryan Hidayat. Kalau saja dia memanggil ayahnya dengan sebutan "Babe" wah terkesan jempol masuk dari segala arah.
Kala itu telepon genggam belum merakyat. Generasi pertama seingat saya salah satunya Sony Ericksson. Tampilannya besar, berat dan bercula satu. Untuk ukuran saat ini, tentulah sangat kuno. Sangat jadul. Serunya saat itu kami belum ada yang punya. Memikirkannya pun tidak.
Wartel, warung telekomunikasi masa itu sedang maraknya. Menjamur sampai ke pelosok.
"Ya sudah kalau begitu, kita cari wartel," Edy menyetujui jalan pikiran Luki.
"Kita berempat, bagi tugaslah..dua cari wartel. Dua lagi jaga mobil," saya menyarankan.
"Berarti diundi.." Hafid menyela dengan ide bagusnya.
"Ah Kau..unda undi unda undi," Luki menoleh tajam ke arah Hafid. Mungkin Luki kurang sreg kalau dia yang mencari wartel. Dia khan pemilik mobil. Mestinya yang menjaga mobil. Tidak perlu ikut susah mencari wartel tengah malam begitu.
"Baik.. Hayoo..," Edy bersemangat. Ucapannya dilanjutkan lagi, " Kita bagi dua dulu. Setelah itu baru tentukan siapa yang cari wartel."
"Hitam putih saja ya," ujar Edy.
Luki terlihat malas. Langkahnya gontai.
"Hayoo Luk..cepat..! Sudah tengah malam ini. Nanti wartel keburu tutup..!" seru Edy dengan sorot tajam. Luki menurut. Maklum di antara kami, Edy yang paling berumur.
Tanpa dikomando, tanpa aba-aba, "Humpimpah.. Alai Hum Gambreng!"
Saya membalikkan telapak tangan, hitam. Terlihat Luki menengadahkan telapak tangannya, putih. Hafid juga putih. Edy, hitam.
Kami saling toleh. Saya yakin pikiran kami detik itu tiba-tiba aktif.
"Tuhan sedang bekerja," pikiran saya mulai mengembang.
Luki dan Edy keturunan Tionghoa. Hafid pemuda Rampal kota Malang. Saya sendiri dari Bali. Jangan ditanya keyakinan kami berempat. Komplit. Cerminan Bhinneka Tunggal Ika, ada pada kami.
Selama ini, sudah enam bulan berlalu, sejak kami mulai saling kenal dan sering berkumpul, Luki dan Hafid terlihat paling tidak harmonis. Selalu saja ribut. Dalam banyak hal mereka sering tidak cocok. Tidak ada yang mau mengalah. Uniknya ke mana-mana selalu saja berempat. Tetapi malam itu, hasil humpimpah itu benar-benar kuasa yang Maha.
Apalagi kemudian undian lemparan logam memutuskan Luki dan Hafid harus mencari wartel. Sementara saya dan Edy menjaga mobil.
Mereka hilang di kegelapan malam. Saya dan Edy segera masuk mobil. Selembar kaos oblong tidak sanggup menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Setelah terkekeh-kekeh akhirnya kami terlelap dalam kelelahan yang amat sangat. Entah mereka berdua. Luki dan Hafid.
Dua jam berlalu. Jam menunjuk angka dua belas malam. Kaca mobil terdengar diketuk keras dari luar. Luki dan Hafid sudah datang. Wajahnya benar-benar terlihat kacau. Nafasnya naik turun. Hafid yang berkulit gelap, lebih parah lagi. Hanya giginya yang putih yang terlihat. Wajahnya hilang ditelan malam.
"Kurang ajar Sia.. Hey Borokokok.. Enak-enak tidur..," suara Luki kacau tapi jelas terdengar seperti menggerutu. Ucapannya kemudian berlanjut dengan bahasa sunda yang tidak saya pahami.
Di dalam mobil mereka bercerita silih berganti. Ada atmosfir baru di antara mereka. Atmosfir yang tidak pernah saya rasakan selama enam bulan terakhir.
Gelapnya jalanan menurun, mereka lalui dengan bergandengan tangan. Tentu mereka tidak mau terperosok ke jurang. Marka jalan yang bergaris putih menjadi patokan. Kalau ada kendaraan yang melintas, mereka berlari ke pinggir untuk kemudian kembali lagi menyusuri garis itu. Wartel terdekat mereka temui berjarak lebih kurang empat kilometer.
Beratnya adalah saat mereka balik kembali ke mobil. Jalanan menanjak. Udara dingin. Tikungan tajam dengan kiri kanan yang tidak yakin rata. Tangan tetap bergandengan.
Kami berempat tenggelam dalam lelap. Hingga esok paginya. Beberapa sinar matahari pagi menerobos dedaunan hingga menembus kaca Fiat. Kami semua bangkit dari lelap panjang.
Asep, sopir sekaligus mekanik ayahnya Luki tiba. Membawa suku cadang. Segera memperbaiki. Dalam hitungan jam, Fiat sudah siap.
Akhirnya Kota Bandung menyambut kami dengan riang. Saya sudah menyiapkan senyum yang paling enak dilihat buat kota legenda itu.
"Selamat datang di kota Bandung Fid..." ujar Luki sambil melirik spion ke arah Hafid. **

Komentar