Humor || Puisi Rasuli

Malam itu Rasuli muring-muring. Tugas dari sekolah belum juga ia selesaikan. Tugas pelajaran Bahasa Indonesia yang kurang dia sukai. Menyusun puisi dan membacakannya di depan kelas.

Dia benar-benar buta apa itu puisi. Berkali-kali berusaha memahami, belum juga kepalanya sanggup menerima. Apalagi merangkai kata, seakan-akan semua kata tak menyukai dirinya.

"Sul...puisi itu, saat kau baca, kekuatannya ada pada intonasinya. Tekanan suara kata per kata..Kau juga mesti menjiwai, meresapi kata yang Kau ucap. Tak perlu terburu-buru. Perlahan saja agar terlihat menjiwai," ujar Hasan dengan suara lengking menggurui.

"Iya Sul..syair tak perlu kau risaukan. Kau comot saja beberapa paragrap di buku puisi itu. Kau ganti beberapa kata-katanya. Kau tambahkan juga boleh. Beres! Tak perlu susah hati Kau..," Kobin menimpali.

Masukan para seniornya itu menyelamatkannya dan menepis kegelisahannya malam itu.

Esok paginya terdengar riuh di ruang kelas, saat Rasuli membacakan puisi. Dia terlihat tegar. Tangannya bergerak-gerak seperti seorang pemimpin orkestra. Sekali waktu tangannya menuding kaca jendela. Kemudian mengepal lurus ke atas. Matanya tajam menyorot dinding kelas. Kakinya sempat menghentak lantai. Badannya miring ke kiri ke kanan menjiwai. Suaranya berubah-ubah. Kadang keras kadang lembut. Mulutnya lancar namun perlahan mengucap satu per satu rangkaian kata pada selembar kertas di tangan kiri ;

"... KATA PENGANTAR..
Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa,...
Akhirnya... tim penyusun puisi... berhasil.. Iya.. BERHASIL.. Menuntaskan..kerja yang.. Melelahkan...tiga bulan...," dilanjutnya lagi dengan suara yang lebih tinggi dan menghentak, "TIGA BULAN..!"

Gurunya terlihat menggeleng-geleng.

"Sudah.. Sudah.. Rasuli..kamu duduk saja..kembali ke tempat duduk..!" Ibu guru mempersilakan sang pujangga.

Rasuli merasa aneh. Dia merasa sudah berusaha sekuat kemampuannya. "Apa puisiku terlalu berat ya.."  **

Komentar

Postingan Populer