Cerpen || Ulat Soemirat
Sebut saja namanya Tantri. Perempuan molek yang suka bersolek. Seorang kawan karib memberi nomer telepon sahabat pacarnya. Saat Soemirat terlihat gamang sekian lama tidak kunjung menggandeng bakal calon pendamping hidup. Sementara usia semakin menggerogot.
"Ini bro..nomer hape-nya..kau hubungi sendirilah. Kau jalani dulu. Semua terserah kau saja..," ucap kawannya saat itu.
Hari-hari mereka lalui dengan suka cita. Penuh canda dan tawa. Terasa lebih banyak cerah daripada mendungnya. Walau sesekali diselingi perang kecil dengan gencatan senjatanya yang cuma bertahan sehari dua hari. Untuk kemudian berseri lagi. Cerah lagi.
Perkenalan dengan masing-masing orang tua pun berlangsung lancar. Tantri tampak santun suatu ketika berbincang dengan kedua orang tua Soemirat. Soemirat bangga bercampur haru. "Akhirnya aku dapat jodoh..," pikirnya saat itu.
Pun Soemirat, saat bertandang ke rumah Tantri yang berjarak puluhan kilometer. Pergumulan kata yang begitu hangat mewarnai pertemuannya dengan calon mertua.
Mereka saling mempelajari kemudian menyimpan dengan sebaik-baiknya dalam benak. Apa kelebihan dan kekurangan sang belahan hati. Sebagai bekal menyusuri hidup yang lebih keras, terjal dan berliku.
Hingga pada suatu sore, di tempat usahanya yang baru setengah jadi, sekembalinya Soemirat dari rumah. Tantri sedang santai menonton televisi di ruang dalam. Sepulang kerja di sebuah hotel berbintang.
"Wah enak ya..sudah beli bakso..," sapa Soemirat ringan.
"Ah..enggak..siapa yang beli bakso..?" sahut Tantri tak kalah ringan.
Kepala Soemirat serta merta pening mendengar jawaban ringan itu. Pening yang dirasa tidak sebanding dengan hal sepele sekelas krupuk warung soto itu.
Soemirat sangat mendewakan kejujuran. Seremeh apapun sesuatu hal, kalau kandungan kejujurannya terlanggar, bisa menjadi pemicu meledaknya perang dunia ketiga.
"Benar tidak ada beli bakso..?" tanya Soemirat mengulang dengan kalimat dan nada berbeda.
"Benaarr...tidak ada beli baksoo..," sahut Tantri setengah berteriak setengah mendelik.
Soemirat tak habis pikir. Di depan tadi sebelum membuka pagar toko, Pak Budi pedagang bakso yang numpang ngemper di depan tokonya, sempat menyapa, "Mas Soem, gak beli bakso ta? Pacarnya tadi sudah beli.."
Dia berasumsi, Pak Budi tukang bakso itu tidak mungkin berbohong. Dia sudah berjualan bertahun-tahun di tempat itu. Tempat berjualan pun gratis. Selama ini pun Pak Budi menaruh hormat padanya. Seingatnya tidak pernah sekalipun melakukan hal-hal yang menyinggung perasaannya.
Sementara calon isterinya itu belum genap setahun dia selami. Belum sepenuhnya sifat-sifat terdalam sanggup dia selami. Mungkin kali ini dia tiba-tiba terperosok ke palung terdalam karakter calon isterinya itu. Dan mendapati gambar-gambar aneh pada dinding palung itu. Gambar-gambar yang tidak dia sukai. Ada satu gambar terlintas seperti sekuntum mawar. Begitu dia tatap lebih dekat sampai memicingkan mata, bunga mawar itu ternyata seonggok tengkorak. Ah!
"Baiklah kalau kamu bilang tidak ada beli bakso...sekarang kita keluar. Kamu dan Pak Budi aku adili. Nanti tentu ada saksi. Ada isteri Pak Budi. Siapa yang berbohong saat itu juga aku usir!! Kalau Pak Budi berbohong, saat itu dia harus angkat kaki. Tidak boleh berjualan di sana. Kalau kamu yang berbohong, kita putus!!" ujar Soemirat lancar dengan suara mantap. Bak pidato Bung Karno masa revolusi.
Sinar mata Tantri terlihat kosong menatap televisi yang sedang bersinetron. Hunjaman kalimat-kalimat pamungkas calon suaminya itu benar-benar mengoyak karakternya. Meluluhlantakkan sendi-sendi yang sudah mantap yang selama ini dia pegang.
"Iya aku ngaku. Tadi sempat beli bakso..," sahutnya ringan. Air mukanya seperti tidak menyetujui apa yang terucap.
"Huh..!" Soemirat menghela nafas. Kecamuk hatinya ditumpahkan dengan menendang bola imajiner yang sudah menantinya sedari tadi.
Tantri beranjak dari tempatnya. Mengamit tas kerja. Pergi meninggalkan Soemirat seorang diri.
Soemirat tak menghiraukan. Hatinya sudah bulat. Perempuan yang baru saja berlalu di hadapannya itu sudah tidak bisa dihandalkan untuk mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Dia lebih memilih perempuan yang hanya bisa memasak air daripada yang kesulitan berkata jujur.
Beberapa hari kemudian mereka benar-benar putus. Sepertinya Tantri ingin menunjukkan bahwa dia sanggup dengan segera mencari pengganti yang lebih baik dari pada Soemirat.
"Aku sanggup mencari yang lebih hebat dari pada kamu! Bukan cuma sekedar urusan bakso!!" mungkin demikian pikiran Tantri yang terlintas di kepala Soemirat. Karena pada saat Tantri datang lagi setelah kejadian itu, dia menelepon teman laki-lakinya di depan Soemirat yang sedang sibuk bekerja. Pembicaraan yang begitu hangat. Terdengar mereka mengulas film yang baru mereka tonton di sebuah gedung bioskop. Obrolan itu membakar telinga Soemirat. Darahnya mendidih. Tantri saat itu juga diusir. Kata 'putus' menutup buku kisah mereka yang seumur jagung itu.
Setahun lebih berlalu. Soemirat sudah melupakan Tantri. Dia sedang membuka lembaran baru. Belum ada yang berhasil masuk dalam lembaran itu. Soemirat tenggelam dalam kesibukan kerja. Tak bosan pula dia memanjat doa-doa kehadapan yang Kuasa. Agar dilapangkan jodoh yang baik.
Suatu petang menjelang bulan purnama, di tengah kekhusyukan doa, Soemirat menumpahkan berbelanga keluh kesah. Mengutarakan seluruh isi hati. Hingga mendikte Sang Maha Diraja penguasa alam semesta. Mengapa menciptakan manusia berpasang-pasangan tetapi sampai saat itu dia belum juga dapat pasangan. Kalaupun mesti bersabar, sampai kapan? Soemirat berdialog dengan penciptanya.
Tiba-tiba seperti mendapat jawaban. Keikhlasan dan rasa pasrah yang menggunung, berserah diri dan memahami kesibukan Yang Kuasa melayani doa ratusan juta ciptaanNya. Petang itu seperti terbayar. Saat matanya terpejam, nafasnya tenang teratur. Sila duduknya sempurna. Jemari tangan menengadah. Suara alam seakan mendukung hingga mencurahkan sinyal-sinyal berkekuatan ganda.
Dia merasakan ada yang bergerak di salah satu jemarinya. Semakin lama gerakan itu semakin terasa lekat di sepanjang jari tengah tangan kanannya. Bermenit-menit tak kunjung jelas apa yang sebenarnya dia rasakan. Daripada anugerah itu lenyap, perlahan-lahan Soemirat membuka kelopak matanya. Cahaya rendah lampu ruangan turut memberi kejelasan. Ulat bulu hijau bersawang putih sebesar jemari tengahnya itu menari-nari di punggung jemari. Soemirat terkejut setengah mati. Serta merta dihempaskannya serangga besar itu.
Dia sebenarnya tidak takut akan apapun. Tetapi dengan kedatangan ulat yang tiba-tiba itu sungguh menyeruakkan rasa takutnya beberapa detik. Di dalam ruangan bersih yang jauh dari kehidupan serangga, dia tidak habis pikir, mana mungkin ada ulat sebesar itu. Diselidikinya sang ulat. Di sekitar silanya itu. Dibantu dengan cahaya yang lebih terang. Tidak ada. Hilang. Lenyap.
Pikiran Soemirat tunggang langgang. Buyar ke mana-mana. Akal sehatnya seperti terkoyak. Dia menarik berulang-ulang dari berbagai sudut. Dengan pikiran sehat. Dengan logika kelas kakap. Kejadian petang itu tidak sanggup dia urai.
Soemirat tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun. Dia khawatir justeru akan kena olok-olok. Dianggap mengada-ada. Karena selama ini dia dikenal tidak mempercayai takhayul. Tidak mempercayai hal-hal konyol seperti itu.
Dua malam berlalu. Soemirat sedang seru menyaksikan semi final piala dunia 2002. Di rumah tetangganya yang juga penggemar berat Jerman. Sorak sorai bergema saat Michael Ballack melesakkan gol ke gawang Korea Selatan. Gol semata wayang yang membawa Jerman menuju final.
Soemirat sedang bersuka cita merayakan kemenangan jagoannya, ketika tiba-tiba hape-nya menderingkan nada pesan pendek.
Di layar Nokia pisang legenda itu. Nomer pengirim seperti dia kenal. Matanya langsung membaca pesan itu, "Kau sudah menghancurkan hidupku, kau harus berurusan dengan aku! Masih ingat kau saat aku datang malam-malam sebagai ulat?"
Mata Soemirat terbelalak. Bulu kuduknya berdiri. Darahnya menghangat. "Hey.. Soem..ngapain kau bengong.. Jerman menang..kita menaang..!" sorai kawannya itu terlihat bak film bisu. Soemirat melongo bak manusia paling goblok malam itu. **

Komentar