Sosbud | Jokowi Oh Jokowi
Apakah negeri ini sudah kehabisan stok jenderal? Apakah jenderal-jenderal itu sadar apa yang sedang terjadi? Apakah di negeri ini cuma Prabowo yang memiliki semangat cinta tanah air? Apakah ada yang saya lewatkan? Apakah saya sedang tertawa sendiri?
Satu dua hari ini pertanyaan itu berseliweran di kepala. Bagaimana tidak, Jokowi sang pemenang, santer disebut-sebut akan memasangkan bekas lawan tandingnya saat pemilu, sebagai menteri. Sebagai bawahan.
Suara-suara bersemangat terdengar dari kubu Jokowi dan tentu dari kubu Prabowo yang militan. "Prabowo terbukti lebih mementingkan keutuhan bangsa." Banyak yang kagum dan terpana. Bahkan Prabowo mengumbar di depan wartawan, "Kami siap membantu jika diminta." Kalimat yang tidak pernah terdengar selama berbulan-bulan kampanye pilpres.
Yang saya lihat justeru berbeda. Saya mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Jokowi semena-mena. Semena-mena terhadap kepercayaan pemilihnya. Mungkin sebagian tidak menganggap semena-mena. Karena kecintaannya kepada Jokowi sudah sampai ke tingkat gelap.
Ada pepatah, 'Tak ada gading yang tak retak.' Kalau pepatah ini ditujukan untuk menggambarkan Jokowi, saya tentu setuju. Tetapi bukankah Prabowo itu gading yang sudah hancur? Apalagi dengan meyakinkan dia mengutip ramalan bahwa negeri ini akan bubar 2030 nanti?
Reputasinya sudah terbenam. Dimana saat dia memegang kuasa bedil 21 tahun silam yang seharusnya melindungi segenap jiwa rakyat, tetapi apa yang dia perintahkan untuk mengatasi mahasiswa dan aktivis saat itu?
Bukankah kondisi itu sudah cukup membuktikan dia lebih mementingkan yang mana?
Saya malah jadi tersenyum apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran Adian Napitupulu. Kalaupun pada akhirnya dia mengamini langkah Jokowi, tentu dia punya pertimbangan lain.
Rocky Gerung lebih frontal. Dia langsung menarik garis pemisah, tegas dan tebal atas tarian politik Prabowo. Bahkan terdengar ada kata 'sampah' dalam kelut itu.
Sejak bergulirnya berita Prabowo masuk kabinet, saya perkirakan peta politik pikiran rakyat yang sudah melek ini, akan berubah. Tetap dalam dua kubu. Kubu cebong kampreters. Dan kubu anti cebong kampreters.
Kubu pertama tetap menyokong pemerintah. Bertaburkan militansi pengkultusan figur. Kubu kedua, kubu anti, berkumpul kaum peduli bangsa sebagai pengawas gerak gerik sang nahkoda. Partai Nasdem sudah memberi sinyal akan memilih kubu yang mana. Kelompok radikal pun jelas akan berkumpul di mana.
Terlepas dari uraian di atas, saya lebih tertarik dengan Jokowi. Manusia satu ini benar-benar luar biasa. Banyak yang percaya ini sudah takdirnya memimpin negeri ini. Berangkat dari seorang perajin mebel. Hingga memegang tampuk pimpinan tertinggi, sekian banyak cobaan, badai, serangan, cacian, tetapi Jokowi tetap tenang menghadapi.
Berbekal petuah hidup kuno tanah jawi, 'Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti,' Segala sifat keangkara-murkaan luruh dengan kesabaran dan kelembutan. Segala halangan itu kalem kalem saja melintas. Tanpa berani mendongak sedikitpun. Bahkan ada yang tak sudi melintas, justeru malah tersandera nun jauh di balik negeri.
Jokowi sebenarnya sudah menjadi sang mahadiraja. Dia sudah menjadi Garry Kasparov. Sudah menjadi Bobby Fischer. Sudah tidak perlu lagi diajari melangkahkan bidak.
Banyak yang tertipu dengan penampilannya. Dia dianggap boneka. Petugas partai. Jongos. Dan banyak kata rendah lainnya.
Tetapi saya punya keyakinan lain. Bukan karena sama-sama penyuka musik metal. Saya menaruh harapan besar ketika dia dengan ringan menutup Petral. Hal yang gagal dilakukan Dahlan Iskan oleh karena digelengi SBY. Sejak saat itu hati saya berseru, "Ini dia Metal Militia itu!" Seruan yang terus menggema seiring dengan keberhasilan-keberhasilan yang terus dia capai.
Kalaupun benar dia boneka, jongos, petugas partai, tentulah dia boneka yang luar biasa. Boneka planga plongo yang lihai memainkan kuda hingga musuh masih sempat tertawa beberapa saat begitu tersepak kuda, sebelum akhirnya tersungkur.
Jokowi tentu memahami bahwa dalam politik, tidak ada baik ataupun buruk, hitam ataupun putih. Dalam politik hanya dikenal yang kalah dan yang menang.
Apa yang bisa ditarik dari semua itu? Kalau saja benar Prabowo masuk dalam kabinet mendatang? Tanpa disadari Jokowi sedang mengukur pengaruh dirinya. Lawan-lawan sudah bertekuk lutut. Prabowo sudah masuk gerbongnya. Sebagian pendukung Prabowo yang berhaluan radikal sudah bukan lawan berat lagi. Bekas bosnya akan menangani. Semakin jauh untuk bisa menyentuh Jokowi.
Menyadari posisi sudah sedemikian berkuasa, Jokowi haruslah tetap tekun mengurus perut rakyat. Dikala lapar tidak sampai berteriak. Dikala kenyang tidak sampai ketiduran.
Meletakkan dasar-dasar yang kokoh untuk bangunan megah Republik Indonesia. Jokowi tentu menyadari bahwa sejarah setidaknya mencatat dua pemimpin besar tiap kemunculan sebuah pemerintahan. Sang pendiri dan sang pemimpin menuju kemakmuran. Sang pemimpin jaman keemasan.
Sekarang adalah lima tahun yang menentukan itu. Apakah Jokowi akan berhasil menuntaskan jembatan emas itu?
Mau tidak mau jawabannya ada pada siapa saja menteri-menterinya sekarang. Sekencang apapun Jokowi berlari kalau menterinya tidak sanggup mengikuti tentu tidak ada guna. Dia harus segera memecatnya menggantikan dengan yang lebih lincah.
Boleh jadi memang itu tujuan Jokowi menggaet Prabowo. Agar kerja lebih terfokus. Tanpa gangguan nada-nada sumbang. **

Komentar